27. Gelang Kerinduan

2.3K 345 73
                                    

Sudah hampir lima belas menit sejak terakhir kali Fendi menelpon ke ruangan Saga. Tidak ada tanda-tanda bos nya itu memberi izin pada siapapun untuk bisa masuk, termasuk Adis. Dan itu sungguh membuat Fendi kebingungan.

Masih segar di dalam ingatannya ketika Saga menatap tajam sekaligus berkata tegas bahwa Adis boleh masuk ke ruangan kapanpun Adis mau. Akan tetapi hari ini entah kenapa bosnya itu tak memberi izin ketika Adis datang. Bahkan Fendi harus rela telinganya panas mendengar umpatan Saga karena dirinya yang lancang telepon sampai tiga kali hanya untuk memastikan bahwa Saga benar-benar tidak ingin Adis masuk saat ini juga.

"Maaf, Dokter. Sepertinya pak Saga sedang banyak sekali pekerjaan. Memang banyak hal yang harus segera diselesaikan karena ditinggal ke Bali kemarin. Nanti saya coba tanyakan lagi, lalu menelpon Dokter jika pak Saga sudah bisa ditemui."

Adis tetap tersenyum. "Nggak apa-apa, besok saja kalau sudah tidak sibuk. Jam kerja saya sudah selesai, jadi saya akan pulang."

Membalas Adis dengan anggukan, Fendi sungguh merasa segan padanya.

Lantas Adis kembali ke klinik sambil bertanya-tanya ada apa dengan Saga. Selama di Bali, mereka tak pernah absen untuk berkomunikasi tetapi ketika sudah kembali, Saga seperti menghindarinya. Bahkan sejak semalam tiba di Jakarta, pria itu tak menghubungi. Pun dengan seharian ini, Adis belum melihatnya. Bermaksud menghampiri tetapi justru pria itu sedang sibuk dan tak ingin ditemui.

Memastikan klinik sudah tertutup rapat dan aman, Adis memutuskan untuk pulang. Jika bisa jujur, hari ini terasa sangat lega. Entah apa alasannya, Adis juga tidak yakin jika alasannya adalah karena sejak pagi-pagi sekali ia bebas dari Dipta. Kakaknya itu mengatakan harus melakukan laporan pada atasannya. Tidak tahu di mana, Adis tak tertarik untuk bertanya. Yang jelas, ia akan menikmati dua hari ke depan tanpa Dipta.

Bukan dia tidak suka ada Dipta di sini. Hanya saja sejak kakak keduanya itu di sini, beban pikiran Adis bertambah. Setiap waktu Dipta selalu merecoki nya dengan pembahasan tentang Saga. Adis merasa kali ini Dipta terlalu jauh ikut campur urusan pribadinya.

Tepat di saat Adis akan membuka pintu, ponsel khusus pekerjaannya bergetar. Tertera nomor baru di sana yang hanya selang tiga detik kemudian ia jawab.

"Vian?" tanyanya memastikan bahwa si penelpon benar teman lamanya.

Adis mendengarkan dengan seksama ketika lawan bicaranya mengatakan beberapa hal. Berujung ia mengangguk di akhir percakapan sebagai tanda setuju atas ajakan Vian untuk makan.

Untuk itu empat jam setelah pulang dari klinik, Adis duduk bersama Vian di sebuah restoran yang berada di pusat kota.

"Seharusnya tadi aku jemput saja, Dis. Aku yang ngajak makan ini."

"Santai, Yan. Aku udah biasa kok kemana-mana sendiri. Belajar mandiri ceritanya."

Vian tersenyum tipis. "Aku merasa tidak enak karena mengganggu istirahatmu."

Menghela napas pelan, Adis menggeleng sebagai tanda bahwa dia tidak keberatan menerima ajakan makan dari Vian.

"Tapi ngomong-ngomong aku sedikit tak mengira kamu bisa kerja di sini. Maksudnya orangtua kamu kasih izin."

Adis tertawa pelan mendengar kejujuran Vian. Mungkin sejak dulu di kalangan teman-temannya ia dikenal berasal dari keluarga strict parents. Padahal sebenarnya tidak. Orang tuanya cukup kooperatif mengenai keinginan Adis dan kakak-kakaknya. Hanya saja memang harus disertai alasan kuat dan janji pulang tepat.

"Kamu nggak tahu aja untuk bisa sampai di sini harus berapa lama aku merayu ayah sama ibu."

Vian ikut tersenyum simpul.

Resusitasi Jantung Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang