Jangan Buka Kalau Nggak Lanjut Karyakarsa

5.9K 292 32
                                    

Nova sedikit terkejut ketika tiba-tiba Nabila kembali menutup wajahnya dan menangis. Saat ini ia bingung sendiri harus berbuat apa selain bertanya, "Kenapa?"

"Saya kan masih honorer di sini, Dok. Dan ini udah ada yang lolos pppk, jadi saya harus tergeser."

"Kenapa kamu nggak daftar juga?"

Nova kembali terkejut saat tangis Nabila semakin keras. Untung saja suasana masih sepi jadi tidak ada yang mendengar selain dirinya.

"Saya telat bangun waktu hari ujian, Dok. Jadi otomatis nggak lolos ujian dasar dan posisi saya yang seharusnya formasi pppk khusus, diisi orang lain."

"Lalu kamu mau nyalahin siapa? Bukankah itu kecerobohan kamu sendiri?"

Nabila sungguh kesal. Berharap dapat sedikit rasa empati, tapi dokter galak ini justru menyudutkannya tanpa tahu alasan kenapa dirinya bisa telat bangun. Tidak ada yang mau melewatkan kesempatan emas itu. Dirinya sudah bekerja sebagai honorer selama tiga tahun. Dan ketika mendapatkan kesempatan khusus untuk bisa menjadi pegawai negeri, malah ia buang kesempatan itu. Nova tak paham seberapa menyesalnya Nabila saat ini.

Melihat wajah penuh penyesalan itu entah kenapa timbul sedikit iba di hati Nova.

"Saya harus apa supaya kamu berhenti menangis?"

Bahkan tanpa Nova sadari, pertanyaan itu sanggup membuat tangis Nabila berhenti seketika. Beberapa saat dia terlampau takjub karena pertanyaan yang biasa berarah empati itu keluar dari mulut Nova.

"Tidak harus ngapa-ngapain, Dok. Ini kan urusan saya. Dokter Nova nggak perlu ikut mikir."

Benar juga. Sesaat kemudian Nova menyesali pertanyaannya. Mungkin melihat seorang wanita menangis membuat sisi kemanusiaan nya sedikit terpancing.

"Memang kapan harus resign?"

Alih-alih melanjutkan momen canggung itu, Nova memilih mengalihkan ke pembahasan lain.

"Tiga bulan lagi mungkin." jawab Nabila lesu.

"Bukankah masih bisa mendaftar tahun depan?"

Nabila melirik kesal ke arah dokter bedah itu. "Masalahnya, selama nunggu ada seleksi lagi, saya kerja di mana? Kebutuhan saya banyak banget, Dok. Kalau hilang salah satu sumber penghasilan saja bisa langsung ambyar. Apalagi penghasilan terbesar saya dari sini."

Nova menghela napas. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa tidak suka melihat Nabila yang pesimis.

"Kamu pernah dengar teori tentang kekuatan sebuah pikiran?"

Nabila diam saja, tidak berminat menjawab.

Kendati diabaikan, Nova tetap melanjutkan ucapannya. "Apa yang kamu pikirkan, maka itu yang akan diwujudkan. Mulailah berpikir yang baik! Jangan fokus pada masalah, tapi fokuslah pada penyelesaiannya. Apa dengan kamu nangis-nangis lalu masalah kamu selesai? Saya rasa tidak. Malah nambah ruwet, iya. Cari pekerjaan di lain tempat kan banyak."

Diam-diam Nabila mendengus kesal. Sedang sedih, ditambah mendapat kuliah umum dari Nova. Meskipun apa yang pria itu katakan ada benarnya, tetap saja dia tidak tahu bagaimana praktik sesungguhnya dalam kehidupan Nabila.

Nova tidak tahu bahwa Nabila terpaksa harus menjadi sumber penghasilan utama di keluarganya. Penghasilannya di rumah sakit pusat ini, yang terbilang lebih tinggi dari tempat lain, itu saja masih kurang dan membuatnya keteteran sampai harus mencari penghasilan tambahan. Apa kabar jika dia nanti dapat kerja di lain tempat dan gajinya tidak sebanyak di sini.

"Kabari saya kalau —"

"Dokter!!"

Ucapan Nova menggantung karena panggilan seseorang. Baik dirinya maupun Nabila sama-sama menoleh ke sumber suara.

Dari jarak sepuluh meter, ada Adis yang sedang melambaikan tangan dan berjalan mendekat. Hal itu membuat Nabila kembali mengusap pipinya lalu kali ini berdiri dan menganggukkan kepala ketika Adis sudah sampai di hadapan mereka.

"Aku pikir dokter belum datang," ucap Adis sesaat setelah membalas anggukan kepala Nabila.

"Sudah." jawab Nova. Lantas pria itu menatap Nabila sekilas sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu, disusul Adis yang menyempatkan diri untuk berpamitan pada Nabila.

Sepeninggal dua dokter itu, Nabila masih berdiri di tempatnya. Menatap keduanya sambil bertanya-tanya dalam hati apakah rumor yang selama ini beredar benar adanya.

Nabila menggeleng beberapa kali, mengusir pikiran negatif tentang keduanya. Melihat bagaimana santunnya Adis dan betapa profesionalnya Nova, rasanya berita miring itu tidak benar. Namun sebagian prasangka Nabila bekerja, melihat secara langsung bagaimana sikap keduanya, bisa saja berita itu benar.

Kembali ia menggeleng, karena merasa tidak perlu ikut mengurusi urusan orang lain. Urusannya sendiri saja masih banyak yang rumit. Akhirnya ia memilih pulang, sambil memikirkan jalan keluar masalahnya, seperti kata Nova.

Sementara itu, Adis dan Nova masih berjalan beriringan menuju markas mereka. Nova terlihat bingung dan canggung ketika menyadari sejak tadi Adis sering menatapnya.

"Jangan menatap seperti itu! Nanti jatuh cinta, repot urusannya."

"Biarkan saja!"

"Apanya yang dibiarkan saja? Kamu kalau ngomong jangan sembarangan!" tegur Nova ketus.

Alih-alih takut, Adis justru mengabaikan teguran itu. Saat ini justru tatapannya semakin tertuju pada wajah Nova.

"Adis?" Tiba-tiba Nova merasa gugup ditatap Adis seperti itu.

"Luka di wajah Dokter udah bener-bener sembuh?"

"Udah. Luka kecil doang!"

"Maaf ya, Dok!" ucap Adis penuh sesal.

"Kamu sudah meminta maaf puluhan kali, Dis!"

"Tapi rasanya belum lega, Dok."

"Kamu mau tau apa yang membuat saya lega dan melupakan masalah itu?"

Adis mengangguk cepat.

"Menikah dengan saya dan tinggalkan pria itu!"

"Memang Dokter mau sama janda?"

********

Lengkapnya di karya karsa, ya. 😊

Resusitasi Jantung Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang