Chapter 42

209 26 5
                                    

Tetap up walau enggak rame.

.
.
.
.

╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
                 CAREL                
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════

"Ini pasti ada udang di balik gajah."

Vey duduk, kemudian ikut meluruskan kedua kaki. Di sampingnya, Carel sudah duduk bersila dengan mata menyipit, menberikan tatapan penuh selidik. Tentu saja curiga akan perbuatan baik Vey yang tiba-tiba ini. Biasanya, dia ini 'kan, menyebalkan dan narsis sekali.

"Jahat banget, sih. Gue enggak seburuk itu juga, lah. Lo mikirnya kejauhan."

Carel melipat kedua tangan di depan dada. Matanya tetap memberikan tatapan penuh selidik. Vey hanya memberikan tatapan tenang sambil manarik napas panjang. Memang susah kalau berbuat baik dengan orang macam Carel ini. Selalu saja dicurigai.

"Ngaku, lo, cepet! Mau apa lo dari gue, huh?"

Vey memutar bola mata. "Apa, sih! Udah gue bilang, gue itu enggak—"

"Alah, nggak percaya gue. Cepet kasih tahu! Gue udah mau nonjok lo rasanya ini. Mumpung gue masih mode baik ini loh!"

Vey menarik napas pelan. "Iya-iya, ini mau bicara. Mulut lo diem dulu, bisa?"

Carel memberikan tatapan sinis. "Gue dari tadi juga diem ya, kampret!"

Tubuh Vey berbalik menghadap Carel sepenuhnya. Gaya duduknya sama seperti cowok mungil itu, duduk bersila. Mata coklatnya memberikan tatapan tegas juga serius. Seolah, apa yang akan dua katakan selanjutnya benar-benar bukan hal sepele.

"Tolong bantu gue."

Carel mengangkat alis. "Bantuin apa? Kalo ngomong jangan setengah-setengah anjir. Ih, gemes gue lama-lama. Pen buang lo ke sungai Amazon!"

"Adik gue."

Carel berdecak. "Masih soal dia? Astaga, lo 'kan satu rumah. Kalo emang khawatir, ya tanyain sendiri keadaannya. Jangan malah plonga-plongo nggak jelas yang bisanya ngemis minta bantuan ke gue!"

Astaga, ucapan Carel benar-benar mampu menohok hati. Tapi memang benar. Vey tak akan mengelak dengan yang itu, sebab dia pun sangat payah dan tidak berguna jika sudah menyangkut adiknya.

"Gue nggak bisa. Adik gue, udah jauh dari gue. Jauh sejauh-jauhnya. Dia bahkan nggak mau natap gue barang sedetik pun. Dia, udah enggak peduli sama gue lagi. Dia, benci sama gue."

Carel memutar bola mata. Suara Vey benar-benar sudah seperti pengemis yang menceritakan kehidupannya yang sangat amat menderita. Melas sekali. Sayangnya, Carel masih belum bisa dibuat iba, tapi hati kecilnya sedikit kasihan juga. Vey kalau seperti ini hilang sudah aura kenarsisannya yang amat kental.

"Terus, lo mau gue ngapain?"

Wajah Vey yang semula suram langsung cerah. Seperti pengemis yang mendapat banyak uang. Astaga, otak Carel terlalu jauh untuk membayangkan situasi sekarang. Malah dengan santai membayangkan Vey seorang pengemis. Dan Carel tentu saja di Millyader yang memberikan sumbangan uang.

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang