Chapter 20

496 68 3
                                    

YANG BACA WAJIB VOTE & COMENT❕️

.
.
.
.

╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
                 CAREL                
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════

Tubuh Dhava ambruk ke lantai saat perutnya ditendang cukup kuat. Nyawanya pasti akan melayang, karena sosok tinggi dan gagah di hadapannya sudah memberikan tatap paling mengerikan. Bahkan ia belum sempat berdiri saat satu bogeman mendarat mulus di wajahnya.

"Berani sekali kamu melakukan ini pada Papa! Kenapa kamu melakukan ini? Siapa yang menyuruh kamu sampai berbuat sejauh ini, ha!"

Huh! Keterdiaman Dhava bukan karena ia takut. Hanya saja, tiap kali mulutnya akan bersuara, Papa tidak tahu dirinya selalu memberikan tendangan. Tubuh cowok itu bahkan sudah terasa remuk, tapi sang Papa tetap memberinya pelajaran yang begitu menyakitkan.

"Kenapa diam! Kamu mulai bisu, ha!"

Jika sudah begini, Dhava rasanya ingin sekali memukul wajah sang Papa membabi-buta. Tapi sayangnya, yang berdiri di sini adalah orang yang cukup berharga. Alhasil, cowok itu hanya bisa diam sambil meringis menahan sakit.

Tapi apa yang dia lakukan, justru mengundang gejolak amarah yang lebih panas dari dalam diri Ardani. Pria paruh baya itu bahkan sudah akan melayangkan tinju, jika tidak ada skateboard yang melaju menghantam kakinya—yang berbalut pantofel hitam mengkilap itu.

Semua atensi langsung mengarah pada skateboard dengan tulisan kecil "Mahendra" di atasnya itu. Sebagian dari mereka menelisik lebih jauh di lima detik terakhir, sebelum kedatangan dua orang menarik perhatian mereka.

"Carel?"

"Jiken?"

Jenan dan Sakya spontan bersuara. Hanya beberapa detik sebelum Carel mendekati Dhava dan berjongkok untuk memegang punggung cowok itu. Membiarkannya bersender di dada bidang Carel. Mata cowok itu kemudian beralih pada sosok Ardani yang entah kenapa tidak bicara.

Senyum miring terpampang nyata di bibir Carel. "Hola! Anda, apa kabar? Sehat? Oh! Atau Anda terlalu sibuk dengan bisnis yang mungkin terkena masalah?"

Ardani mengepal kuat kedua tangan di sisi tubuh. Suara Carel memang tenang, begitu juga sorot matanya. Tapi itu tak lebih dari sebuah penghinaan mutlak di telinga dan mata Ardani. Pria paruh baya itu sampai nyaris akan menginjak skateboard di depan kakinya. Tapi suara Carel menghentikannya.

"Jangan coba-coba lakukan itu! Gue bukan tipe orang yang pandang bulu kalo mau baku hantam. Gue dulu aja pernah berantem sama ayam."

Masih dengan punggung Dhava yang bersender di dadanya, Carel lanjut bicara dengan nada tenang. "Itu ayamnya Bibi gue. Gue kesel, karena itu ayam selain sikapnya sama tuh emak-emak rempong, suka nyuri apa yang gue ambil. Jadi ya, berakhir gue jadiin sate!"

Carel benar-benar sangat santai. Lain halnya dengan Dhava yang sudah bersusah payah untuk bangun, tapi tubuhnya seketika sakit. Apalagi, tendangan Ardani tadi tepat mengenai ulu hati, sangat sakit sekali. Cowok itu sampai tak bisa berbuat apa-apa, selain berdo'a pada Yang Maha Kuasa untuk melindungi sang Adik yang terlalu bar-bar.

Sangat berbeda dengan gaya bicara Carel tadi. Sekarang, wajah cpwok itu penuh dengan aura permusuhan yang kental. Begitu juga dengan manik hazelnya yang menyorot penuh penghinaan kentara.

"Lo gak tahu gue, 'kan? Atau, gue kenalin diri dulu? Tapi, seharusnya lo tahu setelah baca hal penting di skateboard kesayangan gue itu."

Tidak ada jawaban dari Ardani, selain hanya memasang wajah tegang dan rahang yang mengeras. Respon itu tak luput dari pengamatan Carel. Sebelum akhirnya ia yang lagi-lagi harus bersuara setelah membawa Dhava ke sofa terdekat.

Carel mendekat yang sepertinya tidak disadari oleh Ardani, karena pria paruh baya itu sibuk melamun. Satu langkah dari jarak mereka berdiri, Carel mulai menelisik Ardani dari bawah hingga atas, dan decihan pun terdengar. Membuat Ardani di tempat tersadar dan mengalihkan pandang.

Tubuh Ardani menegang, tapi tidak dengan wajahnya yang santai dan tenang. Bahkan kedua tangan pria itu terlipat di depan dada dengan mata menyorot angkuh dan berani. Seolah Carel bukan siapa-siapa dan juga bukan orang penting.

Carel hanya merespon reaksi itu dengan kekehan sarkas. Cowok itu sekarang sudah melipat kedua tangan di depan dada. Sama-sama memasang wajah santai dan tenang, juga mata yang menyorot angkuh dan berani.

"Sepertinya, Anda sudah melupakan semuanya. Anda bahkan nampak baik-baik saja, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Anda bahkan sudah punya keluarga baru dan dengan begitu saja melupakan saya. Oh, atau Anda tidak tahu saya?"

Dhava ingin sekali memeluk sang Adik dan membelanya. Tapi tubuh cowok itu benar-benar sakit untuk digerakkan. Apalagi, ia punya asam lambung, dan tendangan itu tepat mengenai ulu hati. Sudah pasti ia tak akan bisa berdiri tegak.

"Carel Buana jika Anda sudah melupakannya. Saya harap, Anda juga tidak lupa dengan nama itu."

Alih-alih memberikan jawaban, wajah Ardani nampak mengeras dan memerah. Tangan pria paruh baya itu juga mengepal kuat, sampai kuku-kuku jarinya memutih. Membuat Carel di tempatnya berdiri memberikan tatap mencemooh.

"God! Lo beneran lupa? Fucking hell! Lo bener-bener gak cocok jadi seorang Ayah tahu gak!"

Suara Carel mengalun sangat santai dan terkesan bercanda. Tapi bagi Ardani itu seperti besi panas yang berhasil menusuk dan memukul dadanya dengan telak. Sampai ia tanpa sadar langsung meraih kerah jaket Carel, memberi tatap nyalang.

"Di mana dia!"

Sekalipun suara Ardani cukup lantang dan tegas, tapi nyali Carel tidak sedikitpun menciut. Cowok itu malah dengan santai tersenyum dan memberikan tatap paling santai dam terkesan mengejek.

"Siapa yang Anda maksud, Tuan Ardani Sanjaya Nugraha?"

Bagaimana dengan yang lain? Mereka cukup santai memperhatikan, kecuali Jiken dan Dhava yang sudah mengeraskan rahang. Tapi melawan pun tidak berguna, karena di sini Jiken tak pantas untuk melakukan hal itu.

Twins? Mereka sudah seperti menonton film aksi yang nampak klise. Tangan mereka pun sama-sama terlipat di depan dada dengan tatap penuh ketertarikan. Jelas sangat tidak salah membawa bocah imut—yang sayangnya lebih bad itu kemari.

"Lo tahu ending ini nanti?"

Bisikan Jenan lebih mirip desisan menyebalkan. Tapi Liam cukup santai memberi jawaban dengan senyum miring uang cukup jelas.

"Mari kita lihat, bagaimana drama klise ini akan berlanjut. Sepertinya, adek gue yang paling gue sayang itu, mulai menampakkan wajah aslinya."

Jenan mengangguk saja. "Kayaknya bakal seru. Gue jadi nyesel nyeritain keluarga ini padanya."

Kening Liam berkerut. "Any wrong?"

Jenan menarik napas pelan. "Sayang aja, gue gak bakal lagi liat wajah imut Carel setelah ini."

Liam tersenyum miring. "Gue gak nyesel. Ini justru bikin gue makin tertarik sama dia. Carel Buana adalah sesuatu yang sangat menarik."



CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang