Seperti biasa. Tetap up walau enggak rame.
Mau double up, tapi nggak rame. Ya udah, seperti biasa aja. Up satu kali sehari, atau kalo pas lagi mood👍.
.
.
.╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
CAREL
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝"El! Sini!"
Carel celingak-celinguk sebentar. Di pojok kantin, ada dua orang yang sudah duduk di sana. Plus, ada lagi seporsi bakso dan jus sirsak ada di sana. Jelas, pasti itu untuk dirinya. Memang, siapa lagi yang mereka tunggu selain Carel?
"Wih, kalian udah jadi sohib aja."
Hayden tertawa kecil. "Kita satu kelas soalnya."
Carel memberikan anggukan. Kepalanya kembali celingak-celinguk, mencari keberadaan seseorang yang entah beberapa hari ini tidak bertemu dengannya. Spontan, Carel mengerutkan kening.
"Bar, Encok mana?"
Bara mengangkat alis. "Encok? Siapa?"
Carel memutar bola mata. "Kenzo. Dari kemarin-kemarin, gue kagak liat dia. Padahal, kemarin udah janji mau ikut makan malam di rumah."
Bara tersedak. "Hah? Lo? Sama dia? Bukannya—"
"Udah damai kita. Lo emang nggak ketemu dia, ya? Bukannya, Kenzo satu kelas sama lo, Bar?"
Bara mengunyah baksonya sebentar, sebelum kembali bersuara. Wajah cowok itu nampak sedikit suram, sama seperti nada suaranya yang mengecil.
"Kenzo masuk rumah sakit."
"Huh? Kok bisa?"
Bara mengangkat bahu. "Kecelakaan mungkin. Mungkin pas mau ke rumah lo. Soalnya, kejadiannya malem itu."
Carel mengepal kuat kedua tangannya yang ada di atas meja. Hayden nampak mengerutkan kening, jelas ada raut tak suka terpancar di wajahnya. Anehnya, raut wajah itu sama dengan yang Bara keluarkan saat ini.
"Kasih tahu gue rumah sakitnya."
Bara mengangkat alis. "Lo mau ke sana?"
"Hm."
"Nggak usah lah, El! Ngapain?"
Carel berdecak. "Gue yakin, ini bukan kecelakaan biasa. Dan gue, harus cari tahu! Gue nggak bakal biarin sohib gue diperlakukan nggak adil kayak gini. Pasti ada yang buat dia kayak gini, dan itu disengaja."
Hayden memegang sebelah tangan Carel, mengelus lembut punggung tangan yang menegang itu. Jelas sekali, wajah cowok mungil itu sudah tidak sesantai tadi.
"Gue nggak tahu siapa itu Kenzo. Tapi, gue saranin, lebih baik lo jangan ikut campur, El. Gue enggak mau lo kenapa-kenapa."
Carel diam. Memang, bukan urusannya. Tapi, jelas sekali Kenzo kecelakaan saat ingin ke rumahnya. Jadi, Carel juga bisa dikatakan bertanggung jawab untuk mencari tahu situasi aslinya seperti apa. Karena ia yakin, kecelakaan ini bukan tanpa sebab.
Carel bangkit. "Gue tetep mau ke sana."
Hayden geleng-geleng kepala. "Sebegitu pedulinya lo sama dia?"
Carel mengangkat alis. "Maksud, lo?"
Hayden ikut bangkit. Air mukanya nampak tak enak dipandang. Carel tidak berniat untuk peka saat ini. Cowok itu hanya menatap wajah Hayden dengan tenang.
"Lo bahkan baru dekat sama dia. Dan lo, udah sepeduli ini? Maksud gue, kenapa lo harus ikut campur? Di sana, pasti udah ada keluarganya. Lo enggak usah khawatir."
Carel membuang muka. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi kanan kiri tubuh. "Lo nggak tahu apa-apa soal dia."
Hayden memasang wajah tak suka. "Maksud, lo? Gue emang nggak tahu apa-apa, tapi di sini gue peduli sama lo. Gue juga Abang lo, El. Lo juga harus mikirin perasaan gue."
Carel menatap manik hitam Hayden. "Kenzo emang punya keluarga. Tapi, mereka nggak peduli sama dia. Yang mereka pikirkan cuman duit, bukan anaknya. Sekarang aja, gue yakin mereka pasti nggak ada di samping Kenzo."
"Lo ngomong gitu, seolah-olah lo tahu gimana kehidupan Kenzo. Seolah, lo udah berteman dekat dengannya. Gue aja nggak pernah liat lo ngomong sama dia di sekolah, selain cuman berantem doang."
Carel mendengus. Bara berniat menghentikan langkah cowok itu, tapi kedatangan Jiken lebih dulu menghadang. Cowok jangkung itu berdiri tepat di hadapan Carel dengan tangan masuk saku celana. Air mukanya nampak datar dan tenang, tapi sangat kentara ada tatapan tak suka dari manik legamnya.
"Mau ke mana?"
Carel berdecaih. "Bukan urusan lo!"
Jiken menahan pergelangan tangan Carel, sebab cowok itu hendak melangkah lagi. Sekarang, arah mata Jiken ada pada dua orang di belakang Carel. Hayden agak tidak nyaman dengan tatapan tajam itu, dan anehnya Bara pun mengalami hal yang sama. Hingga akhirnya, Bara yang lebih dulu bicara.
"Kenapa, lo? Nggak suka lo sama gue?"
"Kalo iya, kenapa?"
Bara berdecih. "Gue juga nggak ngarep!"
Jiken kembali pada Carel. Cowok itu berusaha lepas, tapi engah kenapa kali ini Jiken lebih kuat. Genggaman di pergelangan tangannya tidak sakit, tapi tetap sulit untuk dilepas. Bahkan, sekarang Carel dapat merasakan aura dominan dari jangkung itu. Menguar cukup kuat.
Carel berdecih. "Lepasin gue!"
"Mau ke mana?"
Carel menatap manik legam Jiken. "Kenapa lo harus tahu?"
"Karena gue keluarga lo. Gue berhak tahu."
Carel terkekeh sarkas. "Kenapa?"
Jiken mengangkat alis tanpa melepas genggamannya. Carel akhirnya diam, tidak lagi memberontak. Arah mata cowok itu ada pada mata hitam legam Jiken. Sekarang, tatapan jangkung itu benar-benar mengeluarkan aura dominan yang cukup luar biasa. Carel tidak tahu dengan perubahan besar seperti ini.
"Kenapa lo harus perhatian dan baik gini sama gue? Kenapa lo nggak jadi kayak dulu lagi, yang benci sama gue. Rela tinggal di apartemen karena nggak mau liat gue. Kenapa? Lo nggak seharusnya masuk ke hidup gue, baikin gue kayak gini. Gue nggak suka."
"Tapi gue suka." Jiken mendekatkan bibirnya ke telinga Carel, berbisik sangat lirih di sana. "Lo adalah keluarga gue yang paling berharga. Bahkan, gue bisa lakuin apa pun cuman buat lo. Apa pun!"
Carel menarik napas pelan. "Gue cuman mau tahu keadaan Kenzo. Lo juga tahu, dia yang udah bantuin kita."
Jiken mendengus. "Buat apa? Apa dengan lo dateng ke sana, dia bakal langsung sehat bugar? Enggak, 'kan?"
Carel mengeraskan rahang. "Dia butuh gue! Dia butuh sahabat satu-satunya, Ji!"
Bara melongo. Sementara Hayden tak bisa lagi menyembunyikan wajah tidak sukanya yang sekarang kentara cukup jelas. Ini jelas fakta yang cukup mengejutkan. Bahkan, Bara yang satu sekolah, ke mana-mana selalu berdua pun tidak tahu soal ini.
"El?"
Suara Bara mengalun. Carel hanya menoleh, tapi mulutnya tidak memberikan jawaban untuk beberapa saat. Sementara Hayden hanya diam dengan wajah mengeras. Kenapa dia tidak tahu tentang hal ini? Mereka sering bersama waktu kecil, kenapa ia tak tahu?
"Dia, dulu sahabat gue. Tapi karena sesuatu, kita bertengkar dan hubungan persahabatan kita jadi renggang. Gue sama Kenzo berteman baik waktu kecil. Nggak ada yang tahu, karena kita selalu ketemu diam-diam."
Carel akhirnya bisa lepas, tapi Jiken tetap tidak membiarkan saudaranya itu pergi. Jiken dengan cepat kembali memegang lengan Carel, dan kali ini menarik tubuhnya hingga membentur dada bidang si jangkung.
"Lo enggak usah ke sana! Dia nggak butuh lo, dan lo juga sama."
"Lepasin dia, Ken!"
Ada seseorang datang, menatap manik legam Jiken tajam. Setajam tatapan elang. Dan sekarang, mereka saling beradu pandang dengan tatapan sama-sama tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...