Chapter 53

211 27 16
                                    

"Sepertinya, gue udah ketinggalan banyak hal."

Tangan kekar berbalut kemeja hitam yang digulung hingga siku memutar gagang pintu. Cahaya bulan yang masuk melewati balkon terbuka menyorot tubuh tegap dengan otot menonjol di bagian lengan. Kakinya membawa langkah dengan pelan mendekati ranjang.

Seringai kecil terpampang jelas di sudut bibirnya. Untuk beberapa detik, tubuh tegapnya hanya berdiri. Sementara tangannya sibuk meraih softlen di matanya, sebelum membuangnya asal. Sekarang, mata aslinya terlihat, berwarna merah menyala. Memancarkan kilatan obsesi yang begitu jelas.

"Seharusnya tadi gue yang ada di posisi Jiken. Seharusnya, gue yang jadi pelindung lo. Cih! Gue benci bocah itu. Dia udah dengan berani merebut milik gue!"

Orang itu dengan perlahan naik ke atas ranjang, mendekati tubuh mungil itu, mengukungnya dengan tangan yang berorot. Sementara mata merahnya sibuk mengamati wajah putih, bibir merah, dan pipi yang sedikit tirus itu. Tapi tetap tak menghilangkan wajah manis dari sosok mungil itu.

"Gue pengen bunuh dia. Tapi gue nggak bisa. Dia sama gilanya dengan gue." Tarikan napas kasar berembus dari bibirnya. "Gue pengen lo cuman liat gue. Gue pengen lo cuman anggep gue doang sebagai keluarga lo. Tapi bocah itu udah berani ngerebut lo dari gue."

Tubuhnya cukup berat juga, apalagi kini dia dengan tidak tahu diri memeluk tubuh mungil itu. Menenggelamkan wajah di ceruk leher sosok yang ada di bawah kungkungannya. Dan secara reflek, karena merasakan ada beban berat menimpa, sosok itu membuka mata dengan malas.

"Sakya?"

"Hm?"

Sakya mengangkat kepala, membiarkan cahaya bulan menerpa garis rahang tegas, mata merah menyala dan bibir tebal dan seksi itu. Carel membulatkan mata dan spontan bergerak, menarik tubuh Sakya dengan kuat. Hingga sekarang, Carel lah yang ada di atas tubuh Sakya dengan pisau lipat di genggaman, yang kini mengarah tepat di leher Sakya.

"Lo ke mana aja, huh?"

Sakya menyeringai. Jemarinya dengan perlahan terangkat. Belum sempat menyentuh rahang tegas Carel, karena pemuda itu lebih dulu menepisnya dengam cukup kasar. Mata hazel yang mempesona itu menyorot tajam dan penuh dengan kilatan amarah.

"Jawab gue!" Bilah pisau sudah menempel di kulit leher Sakya. "Siapa yang udah bunuh Nyokap gue! Gue tahu lo tahu semuanya."

Sakya menarik napas pelan. "Gue pikir, lo kangen sama gue. Padahal, gue sekarang ini lagi capek, berharap lo mau peluk gue, pukpuk kepala gue. Tapi lo malah nanya hal kayak gini."

Carel berdecih. "Bacot! Cepet jawab! Atau gue bakal habisin lo. Sekarang juga!"

Sakya menyeringai. Tangannya dengan perlahan menggenggam pisau lipat itu. Dan membawanya bergerak untuk lebih dekat, hingga menyayat sedikit kulit lehernya. Dan sekarang, cairan merah kental sudah merembes dari sana.

Sakya memejamkan mata. Bukan karena kesakitan, tapi menikmati bagaimana pisau itu melukai kulitnya dengan tangan kesayangannya, Carel Buana. Dan ternyata memang terasa beda. Entah jika luka itu Carel yang membuatnya, justru hanya kenikmatan yang Sakya rasakan.

"Lo udah gila!" Carel sedikit menarik pisaunya menjauh.

Sakya membuka mata. "Gue udah habisin dia! Gue udah habisin orang yang udah bunuh Nyokap lo. Lo nggak perlu khawatir lagi sekarang. Lo ... hanya perlu perhatiin gue mulai sekarang."

Carel mengeraskan rahang. "Siapa?"

Sakya menarik napas pelan. "Kalo gue jawab, apa lo bakal bunuh gue?"

Carel mengangkat alis. "Maksud?"

Mata hazel Carel selalu membuat siapapun yang menatapnya akan terpesona. Dan sekarang, mata merah Sakya tak berhenti menatapnya. Apalagi, terpaan cahaya bulan yang menambah keindahan di mata hazel milik Carel Buana.

"Liam. Dia yang lakuin itu."

Carel mengeraskan rahang. "Dan itu artinya, lo juga terlibat!"

Sakya terkekeh. "Siapa bilang? Gue belum muncul saat Liam lakuin itu. Gue baru muncul saat Liam mulai merasa bersalah, dan mentalnya mulai terganggu. Yah ... awalnya gue biarin aja. Tapi, saat gue liat lo untuk pertama kalinya, dan di waktu itu, gue bilang bakal jadiin lo keluarga, gue udah tahu kalo lo anaknya wanita yang udah Liam bunuh."

Sakya menarik napas pelan. "Dengan begitu, tepat di hari gue klaim lo sebagai keluarga gue, saat itu juga gue nyiksa diri gue sendiri, sampai akhirnya gue ambil jiwa ini seutuhnya. Liam udah nggak ada dari saat setelah kita pertama kali bertemu."

Carel terkekeh sarkas. "Nggak masuk akal! Lo bahkan baru nunjukin diri belum lama."

Sakya menyeringai. "Gue pura-pura. Lo tahu, kenapa tiap ada orang ada yang manggil gue Sakya, gue marah?"

Carel diam dengan alis terangkat.

Sakya terkekeh, sebelum dengan berani menarik tubuh Carel ke dekapan. Pisau lipat itu sekarang sudah tergeletak di atas ranjang, sementara sekarang kepala Carel ada tepat di ceruk leher Sakya.

"Gue nggak suka ada orang manggil gue dengan nama itu. Hanya lo yang pantas manggil gue dengan nama itu, bukan siapapun!"

Carel menarik tubuhnya dan duduk di ranjang, masih dengan gerakan waspada. Sakya pun juga ikut bangkit, sedikit terkekeh dengan tingkah Carel yang menurutnya manis dan lucu.

"Gue nggak bakal percaya semudah itu. Lagi pula, walau Liam udah nggak ada, tapi tubuhnya masih ada."

Sakya menarik napas pelan, sebelum dengan perlahan melepas kancing kemejanya satu-persatu. Carel langsung waspada, spontan menarik diri untuk menjaga jarak.

"Mau ngapain?"

Sakya mengangkat bahu. "Membuktikan sesuatu."

Sekarang, nampak jelas ada banyak sekali bekas sayatan tepat di perut sixpack milik Sakya. Dan bukan itu juga. Sakya mendadak berbalik dan melepas kemejanya, hingga tubuhnya telanjang dada. Dan, terlihatlah ada bekas luka sayatan dan cambukan di punggung tegap Sakya.

Carel menatap dengan tenang. Sakya terkekeh sebelum kembali menghadap pada kesayangannya. "Gue sampe bayar orang buat nyiksa gue. Ini, sebagai penebusan dosa dari Liam. Sebenarnya, gue pengen habisin tubuh ini. Tapi jika gue lakuin itu, gue nggak bisa ketemu lo lagi dan lindungin lo. Setelah gue tahu fakta itu, gue mulai berjanji pada diri gue sendiri, jika mulai sekarang, Sakya hidup hanya untuk Carel nya. Hanya untuk Carel, melindunginya, menjaganya layaknya permata."

Carel terkekeh. "Menjaga? Waktu Papa pukulen gue dulu, lo kenapa diem aja? Malah, lo ama kembaran lo nontoniin gue, seakan itu nggak penting?"

Sakya menyeringai. "Karena gue pengen memastikan sesuatu."

Carel melipat kedua tangan di depan dada. "Tapi luka lo itu belum buat gue puas."

Sakya mengangguk dan mendekat. Tangannya menangkup rahang tegas milik Carel. Membiarkan mata mereka saling bertatapan.

"Gue bakal lakuin apa yang lo perintahkan." Sakya kemudian meraih sebelah tangan Carel, dan mencium punggung tangan itu. "Apa pun itu."

Carel menyeringai. "Kayaknya, nggak papa deh kalo gue kurung lo di kandang peliharaan milik sepupu gue. Dan kita liat, apa lo masih bisa bertahan hidup, atau bakal ... mati?"




CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang