"Kau benar-benar kelewatan, Grandpa."
Suara Carel bernada tenang. Apalagi wajahnya tak ada raut kasihan, atau iba. Terkesan santai. Tapi tetap saja, hati kecilnya merasa khawatir. Dan untuk pertama kali, ada orang yang bisa membuat Carel merasakan kekhawatiran ini.
Karena sebelumnya, Carel terkesan tak peduli. Bahkan, pada Dhava Kakak kandungnya sendiri. Dan si jangkung itu, sudah bisa membuat sedikit dari hati nurani Carel khawatir.
Albert sampai dibuat terkekeh. Carel hanya diam saat tangan kekar pria tua itu mengusap pelan puncak kepalanya. "Apa aku tak salah dengar? Cucu kesayangan Grandpa khawatir dengan seseorang? Sejak kapan?"
Carel mengangkat bahu. "Dia cukup unik. Sebelumnya, dia yang paling menentang keberadaanku. Tapi tiba-tiba, dia menjadi seperti ini. Yah ... aku seperti punya bodyguard. Tapi dia jelas istimewa dari bodyguard lain yang sudah aku temui."
Albert terkekeh. "Dia tergila-gila padamu, prince. Dia begitu posesif. Dia juga ... sama gilanya denganku."
Albert benar-benar gila. Pria tua itu memberikan ujian paling berat pada Jiken, hanya untuk mengetahui kemampuan si jangkung. Dalam waktu tiga hari, Jiken harus bisa bertahan hidup di sebuah hutan buatan.
Kedengarannya memang hanya hutan. Banyak pepohonan, rumput tebal dan semak-semak. Tapi bukan itu yang berbahaya. Tetapi, di sana ada orang-orang bertubuh kekar yang bahkan bisa saja menghabisi nyawa Jiken saat itu juga.
Paling mengerikan, di hutan itu terdapat banyak binatang buas. Untuk orang-orang suruhan Albert tentu tak masalah, karena mereka sudah terbiasa. Berkat Tuan mereka tentu saja, yaitu Albert yang bisa melatih mereka dengan begitu baik. Walau kejam dan sadis.
Carel duduk di single sofa. Dengan santai menyilangkan kaki dengan sebelah tangan menopang dagu, mengamati kamera drone dari layar komputer itu. Di dalam rekaman, nampak Jiken sudah bisa kembali. Jelas karena ini sudah hari ketiga dari ujian survival dirinya.
Carel spontan menarik ujung bibirnya, membentuk senyum lebar yang cukup manis. Sayang sekali, pria tua bernama Albert itu tak menyadarinya, karena fokusnya ada pada si jangkung yang kini tengah diobati.
Albert terkekeh. "Lumayan juga. Dia tidak mati ternyata. Sepertinya dia memegang ucapannya."
Carel memutar bola mata sebelum beranjak dan melangkah keluar dengan tangan masuk saku celana. Cowok mungil itu membawa langkah dengan cukup cepat. Dan begitu tiba di depan pintu utama, langkah kakinya terhenti.
Carel melipat kedua tangan di depan dada tepat saat pintu besar terbuka. Sosok Jiken melangkah terseok dengan wajah suram. Bibirnya seringkali meringis, tapi wajahnya langsung berbinar begitu mendapati orang yang dia rindukan.
"Carel." Suara Jiken begitu pelan, tapi jelas ada nada senang dari suaranya yang keluar.
Carel mendekat. Tangan kanannya terangkat. Jiken tersenyum, berpikir jika Carel akan memeluknya. Tapi detik berikutnya, tubuh jangkung itu terjatuh ke lantai begitu pipinya terkena bogeman cukup kuat.
Dan si pelaku hanya menatap datar, tapi nampak rahangnya mengeras. Jiken mendongak sambil menyeka darah di sudut bibir dengan punggung tangan. Kekehan keluar dari bibirnya.
"Bodoh!" Carel berjongkok dan meraih kerah kemeja hitam yang Jiken kenakan. "Kenapa lo harus lakuin ini, huh? Untung aja lo nggak mati."
Jiken kembali terkekeh. "Gue tahu lo khawatir sama gue. Tenang aja. Gue udah bilang, cuman lo yang bisa bunuh gue."
Carel menarik napas pelan. Tangannya menjauh dari kerah kemeja Jiken. Baru saja hendak berdiri, Jiken lebih cepat menarik tubuh Carel hingga terjatuh ke dekapan Jiken. Carel mencoba lepas, tapi Jiken malah memeluk tubuh mungil itu, meletakkan dagu di sebelah bahu Carel.
"Gue lega."
Carel mengerutkan kening.
"Gue lega karena lo nggak pergi." Suara Jiken pelan, tapi jelas ada nada kelegaan dari suaranya.
Carel menarik napas pelan. Tanpa Jiken sadari, kedua sudut bibir cowok mungil itu terangkat membentuk senyum lebar. Untuk pertama kalinya, ada orang yang bisa dikatakan asing bisa membuat seorang Carel Buana tersenyum setulus ini.
"Gue nggak akan pergi. Jadi, lo nggak usah khawatir. Btw, makasih."
Jiken tersenyum. "Gue emang harus lakuin ini. Gue nggak bisa jauh-jauh dari lo."
Carel terkekeh sinis. "Masa? Dulu aja lo yang nyuruh gue buat jauhin lo. Lo sendiri yang ngomong benci sama gue."
Jiken menarik napas pelan. Pelukan di tangannya kian erat, tapi tidak terasa memaksa. Hanya ada kehangatan. Bola mata segelap malam itu memancarkan kilatan obsesi yang teramat, sampai pelukan di tangannya kian mengerat.
"Sorry. Tapi gue nggak bohong. Kalo lo pergi, entah apa yang akan terjadi sama gue. Mungkin, gue bakal ... nggak waras."
Carel dengan paksa menarik diri dari pelukan Jiken. Walau mengeluarkan wajah suram dan bibir mencebik, Jiken membiarkan Carel berdiri, begitu juga dirinya yang kini saling berhadapan dengan Carel.
"Kenapa lo sampe segitunya? Gue jelas bukan siapa-siapa. Gue, malah orang yang ... bisa dikatakan, perusak kebahagiaan lo. Gue bahkan terlibat atas apa yang menimpa Nyokap lo. Tapi, kenapa lo malah kayak gini? Gue kira, lo bakal benci gue."
Jiken terkekeh. Carel sedikit terkejut, tapi tetap membiarkan tangan besar Jiken menangkup pipinya. Cowok tinggi itu tersenyum.
"Kehagiaan gue itu lo, Carel. Lo adalah satu-satunya keluarga gue. Lo adalah satu-satunya yang paling berharga di hidup gue."
Carel terkekeh. Baru saja Jiken akan kembali memeluk, cowok mungil itu sudah lebih dulu menarik diri menjauh. Kedua tangannya dengan santai masuk ke saku celana. Wajah yang tadi datar kini nampak menunjukkan binar kesenangan.
"Jadi, lo beneran bakal ada selalu di sisi gue? Bakal jagain gue? Bakal korbanin nyawa lo demi gue?"
Jiken terkekeh. Kakinya melangkah santai, membawa untuk lebih dekat dengan Carel. Tangannya pun terangkat untuk kemudian menangkup pipi Carel, sebelum memberikan kecupan di pipi dan terakhir dahi cukup lama.
"Of course. Tapi tenang aja. Gue nggak bakal mati jika itu bukan di tangan lo, Carel Buana."
Albert benar. Jiken juga sama gilanya dengan pria tua itu. Bahkan, cowok itu secara terang-terangan menunjukkan obsesinya yang begitu besar, sampai cowok jangkung itu kembali memeluk tubuh Carel dengan posesif.
"Lo jangan pernah tinggalin gue." Suara berat Jiken lirih, menerpa tepat di telinga kiri Carel.
Cowok mungil itu tidak menolak pelukan, tapi tak juga membalas. Wajahnya hanya tenang, tapi terlihat jelas nampak ada senyum tersungging di bibir mungilnua.
"Gue beneran seperti seorang pangeran."
Jiken terkekeh. "Prince. Pria tua itu ternyata pintar memberi julukan. Itu cocot buat lo."
Senyum yang sempat merekah langsung melengkung ke bawah. Kedua tangan Carel di bawah sana terkepal cukup kuat, hingga kuku-kuku jarinya memutih.
"Ke mana Bang Dhava? Udah tiga hari dia nggak pulang. Apa ... dia nggak kangen sama gue?" Rahang Carel mengeras. "Dia sibuk apa sampe mengabaikan gue."
Carel tidak suka dengan sikap Dhava yang sekarang. Cowok itu tak lagi perhatian dan ada untuk Carel. Padahal, Carel sudah akan menjadi Adik yang baik. Tapi, Dhava malah mengabaikannya. Tiga hari tak pulang, dan itu membuat Carel kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Novela JuvenilCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...