Chapter 49

177 26 0
                                    

"Gue masih dirantai?"

"Morning, boy. Gimana sama tidur kamu? Nyenyak?"

Ardani datang dengan nampan dan segelas susu. Meletakannnya di atas meja. Carel diam, memperhatikan bagaimana penampilan ayahnya itu yang benar-benar berubah. Celana panjang hitam dan kemeja hitam yang sangat pas untuk proporsi tubuh tegapnya.

Apalagi pada bagian lengan digulung sampai siku, juga kancing teratas yang terbuka. Benar-benar gagah dan keren. Carel sampai berpikir jika ayahnya ini baru saja operasi plastik, atau tubuhnya yang kembali muda.

"Perasaan, saat istri tercinta Papa masih ada di sini, penampilan Papa nggak sekeren ini. Mau cari istri baru ya?"

Suara Carel terdengar sinis dan terkesan mengejek. Ardani hanya tersenyum, tidak heran juga. Pasalnya, penampilan Ardani saat masih dengan Helena, memang sudah cocok menjadi tua bangka yang sudah berumur. Tapi sekarang, pria itu benar-benar terlihat muda dan gagah. Seperti, lebih cocok menjadi seorang Abang yang masih berumur tiga puluhan dibanding Ayah.

"Anggun masih lah cinta Papa, Carel. Apa kamu tidak senang dengan perubahan Papa?"

Carel mengangkat bahu. "Tidak peduli. Lebih baik, sekarang kau lepaskan rantai ini dari kakiku. Benar-benar tidak nyaman! Aku bahkan belum cuci muka!"

Ardani diam untuk waktu yang cukup lama. Entah apa yang pria itu pikirkan, Carel tidak tahu. Cowok itu hanya menunggu sambil menyesap susu coklat, juga menyantap nasi gorengnya dengan santai. Sesekali melirik Ardani. Wajah pria paruh baya itu nampak suram, entah sedang memikirkan apa.

Carel menarik napas pelan. "Aku sudah mulai memanggilmu Papa, karena hatiku mempercayainya. Tapi, apakah keputusanku benar?"

Ardani langsung mengangkat pandangan, memasang wajah yang nampak bersalah dan sendu. Pria paruh baya itu meraih kedua tangan Carel, menggenggamnya erat. Seolah, tak akan membiarkannya lepas lagi.

"Papa hanya takut. Papa takut ... kamu akan pergi lagi ninggalin Papa."

Sejujurnya, ini hal yang cukup membahagiakan. Carel tidak akan pernah berpikir sebelumnya, jika akan bisa mengobrol sedekat ini dengan ayahnya. Bahkan, Carel pikir jika Ardani memang tak pernah menganggap dan menyayanginya. Tapi, setelah pria ini bercerita panjang lebar hampir semalaman, Carel mulai tahu, jika orang ini benar-benar merasa bersalah karena pernah berpikir tidak akan menerima kehadiran Carel.

Sebelum Carel lahir, Dokter sudah pernah mengatakan, jika Anggun harus memilih antara hidupnya, atau hidup putranya. Ardani jelas memilih sang istri, tapi tidak dengan Anggun yang tetap ingin mempertahankan putranya untuk tetap lahir ke dunia. Dari situ, Ardani mulai membenci bayi yang bahkan belum lahir itu.

Karena paksaan Ardani yang terus-terusan ingin Anggun menggugurkan kandungan, wanita itu marah. Lebih parah lagi, belum sempat dia melahirkan, datang seorang wanita yang mengaku hamil anak dari Ardani. Dan fakta lebih menyakitkan, jika wanita itu, Helena adalah sahabat baik Anggun.

Anggun memilih menjauh. Dia pergi bersama bayi yang masih ada dalam kandungan. Wanita itu kembali lagi saat sudah melahirkan, dan fakta mengejutkan jika Anggun masih lah sehat bersama dengan putra bungsunya. Tapi sialnya, Anggun datang di waktu yang tidak tepat. Karena, dia datang tepat saat Helena sudah merencanakan pernikahan dengan sang suami.

Yah, begitulah akhirnya. Ardani bahkan belum sempat bertemu Anggun atau bahkan putranya yang baru lahir. Itu pula yang membuat Ardani berpikir, jika istrinya sudah meninggal, dan kian membenci Carel. Tapi, beberapa tahun setelah itu, Ardani mulai mendapat petunjuk. Dia bahkan sudah tahu, jika Anggun masih tetap hidup walau sudah melahirkan Carel.

Tapi saat itu sudah terlambat. Karena Ardani hanya mendapat fakta, jika sang istri sudah meninggal dunia. Pria itu mencoba untuk mencari keberadaan putranya, tapi Helena mengancam. Apalagi, wanita itu tahu siapa orang yang sudah membunuh sang istri. Apalagi, Helena di situ tahu di mana dan bagaimana keadaan Carel. Ardani hanya takut, jika wanita licik itu akan berbuat hal nekat pada putranya.

Yah, itulah yang membuat Ardani seperti orang bodoh yang tetap mempertahankan Helena. Tapi setidaknya, sekarang wanita itu sudah mendekam di penjara. Ardani bersyukur putranya yang melakukan ini. Dia juga bersyukur, karena Tuhan masih mau memaafkan dan memberinya kesempatan untuk merawat putranya.

Carel menarik napas pelan. "Papa tahu?"

Ardani menunduk. "Ayah pasti akan datang. Dan dia akan membawamu pergi jauh. Papa tidak ingin kehilangan kamu lagi, Carel."

"Tapi pelaku pembunuh Mama belum ketemu. Jadi, Carel masih bisa tetap di sini. Lagi pula, Grandpa belum tentu akan datang dalam waktu dekat ini. Grandpa pasti masih sibuk di negaranya."

Ardani tersenyum kecut. "Dia akan datang hari ini. Karena itu, kemarin Papa mulai memberanikan diri bicara sama kamu. Papa harap, dengan begini kamu tak akan pernah meninggalkan Papa lagi."

Carel diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kakeknya pasti tak akan mengizinkan Carel untuk menetap di sini bersama dengan sang Ayah dan Dhava. Apalagi, Kakek tahu jika Ardani dulu sempat menentang keras kelahiran Carel.

Sial!

Padahal Carel mulai akan bisa menerima ini. Dia bahkan sudah bisa berdamai dan mau menganggap ayahnya. Tapi kenapa harus ada masalah seperti ini? Carel mana berani membantah perintah mutlak sang Kakek. Dia di sini pun karena sebuah perjanjian. Kakek memberinya waktu bisa bebas dan berbuat semaunya, tapi sekarang waktu itu sudah habis.

Carel menarik napas panjang. "Carel akan bicara sama Grandpa nanti. Sejujurnya, Carel juga tak ada niat buat ikut sama Grandpa. Carel lebih suka di sini sama Papa dan Abang."

Ardani tersenyum teduh dan memeluk tubuh mungil putranya hangat. Setelah itu, barulah dia melepas rantai yang melingkar di pergelangan kaki Carel. Beruntung tidak sakit, tapi tetap saja tak nyaman. Carel bahkan semalaman menahan diri untuk tidak buang air kecil.

"Kamu tidak usah sekolah dulu ya, boy. Papa juga akan tetap di rumah."

Carel mengangkat alis. "Bukankah sekarang Papa sudah rapi begini? Kenapa tidak ke kantor saja?"

Ardani terkekeh. "Sepertinya, perubahan ini memang cukup mengejutkan, ya. Padahal, ini penampilan biasa Papa di rumah maupun di kantor."

Carel melipat kedua tangan di depan dada. Cowok itu tersenyum geli. "Sepertinya Bang Dhava belum tahu perubahan Papa. Hsruskah kita menemuinya sekarang?"

Ardani geleng-geleng kepala. "Dia sudah tahu, boy. Dhava pun mendukung perubahan Papa yang begini."

Carel menatap sinis. "Tapi Papa jadi terlihat keren gini. Yang ada, nanti banyak wanita kepincut sama Papa. Kasihan Mama kalo liat ini."

Ardani terkekeh. Spontan, pria paruh baya itu mencubit pipi sang putra. "Begini, begini, Papa orangnya setia, boy. Papa menyesal membuat Mama kamu kecewa sama Papa."

Carel tereenyum. "Bukan salah Papa. Tapi wanita picik sialan itu yang memang terobsesi sama Papa. Dia bahkan sudah mengkhianati sahabatnya sendiri. Dasar! Beruntung aku tak sampai membunuhnya. Aku masih cukup kasihan sama Jiken."

Ngomong-ngomong tentang Jiken. Seharian kemarin, Carel tidak bertemu dengannya. Ke manakah orang itu?

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang