"Maafin Papa."
Carel mengerutkan kening. Kenapa dengan si tua bangka itu? Kenapa pula dengan wajah sendu dan tatapan memohon itu. Carel rasanya sedang mendapat mimpi buruk. Wajah Ardani ketika memelas seperti ini benar-benar terlihat asing dan menyedihkan.
Ardani secara perlahan melangkah maju. Carel akan bersiap jika akan mendapat pukulan. Tapi rupanya, pria paruh baya yang ternyata masih gagah itu memegang kedua bahunya lembut. Ada tatap penyesalan dan kesedihan mendalam dari mata legam pria paruh baya itu.
"Maafin Papa. Jangan pergi, jangan tinggalin Papa lagi. Papa tidak mau kehilangan kamu lagi. Papa mohon, jangan tinggalin Papa."
Carel dengan spontan menarik tubuhnya agak menjauh. "Ada apa dengan Anda? Ini sangat aneh. Apa Anda baru saja salah meminum obat?"
Ardani menggeleng pelan. "Maafin Papa. Papa melakukan semua ini demi kamu, Carel. Biarkan Papa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Papa mohon, jangan pergi."
Carel memutar bola mata. "Apa ini salah satu rencana Anda untuk menghabisi saya tanpa jejak, Tuan? Apalagi, setelah Anda ditinggalkan oleh istri tercinta?"
Ardani lagi-lagi menggeleng. "Jangan benci Papa. Ini semua demi kamu."
"Demi saya?"
Carel terkekeh. "Bagaimana Anda bisa mengatakan ini, Tuan? Apakah membiarkan pelaku yang sudah membunuh ibu saya berkeliaran itu keputusan yang benar? Anda bahkan tidak merindukan Ibu saya sedikitpun."
Ardani lagi-lagi melangkah maju. Carel yang tidak ingin disentuh lagi langsung mengambil langkah mundur. Belum sempat dirinya bicara, ada sebuah jarum yang secara paksa menusuk bagian belakang lehernya. Carel seketika limbung. Beruntung Ardani dengan sigap menopang tubuh putranya.
Ardani tersenyum dan mengelus lembut puncak kepala Carel yang sudah berada di dekapan. "Maafin Papa. Ini harus Papa lakukan. Papa hanya tidak ingin kamu meninggalkan Papa lagi, Carel."
╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
CAREL
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝"Anjing! Kepala gue pusing banget."
Carel secara perlahan membuka mata, mengerkapkannya beberapa kali sebab cahaya lampu di langit-langit atap yang cukup menganggu.
"Sudah bangun, Boy?"
Carel memicingkan kedua mata. Ardani hanya terkekeh, sebelum meletakkan nampan dan segelas susu di atas nakas. Selanjutnya, mengambil duduk di sisi ranjang.
Carel bangun dan hendak beranjak, tapi ada sesuatu yang menahan sebelah kakinya. Ardani menghentikan anaknya yang selalu saja berusaha memberontak. Dan ternyata, ada sebuah rantai besi yang mengikat kaki kiri Carel. Cowok mungil itu berteriak lantang. Beruntung, kamar milik Ardani ini kedap suara.
"Lepasin gue! Lo, beneran mau habisin gue, 'kan, Pak tua?"
Ardani menarik napas pelan. "Ini tidak akan Papa lakukan jika kamu mau menurut, Boy. Biarkan Papa menjelaskannya. Kali ini, Papa tidak akan takut."
Carel mengangkat alis. "Apa yang akan Anda coba bicarakan? Apakah Anda akan membela diri?"
Ardani menggeleng pelan. "Sebelum itu, saya hanya ingin bicara, jika Helena benar-benar bukan yang membunuh Anggun."
Carel terkekeh sarkas. "Lihat? Bahkan setelah tahu kebenarannya, Anda masih seperti ini? Jadi, sebenarnya, Ibu saya Anda anggap sebagai apa? Hanya pelampiasan nafsu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...