Chapter 4

1K 78 4
                                    

Woii! Kalian para readers durjana, apakah kalian tidak merasa kasihan dengan Author receh ini? Ayolah~ Kalian para readers baik hati, berikan vote dan coment-nya. Mari ramaikan cerita ini!

◇◇◇

Bosan.

Baru lima menit. Tapi serasa satu hari. Anehnya, orang-orang aneh ini masih saja fokus ke papan tulis. Sedangkan dirinya sibuk berbaring di atas meja dengan lipatan tangan sebagai bantal.

Sungguh, ini sudah yang ke sekian kali Carel mencoba untuk bolos. Tapi, tiap kali ingin izin ke kamar mandi—sebagai alasan, guru itu benar-benar awas, sampai menyuruh si ketua kelas mengikuti.

Apakah sikap berandalnya terlihat mencolok?

Padahal jika dinilai dari penampilan pun cukup ramah lingkungan. Seperti murid pada umumnya. Celana hitam, kemeja dengan dua kancing teratas terbuka, dasi, dan terakhir jas almamater.

Apakah itu salah?

Ataukah karena tindik di kedua telinga, juga sebuah piercing di telinga kirinya? Jika iya, mungkin Carel akan melepasnya sesekali, agar ia bisa dengan leluasa bolos sekolah.

Keluarga Sanjaya ini sudah tahu seberapa berandalnya seorang Carel Buana. Tapi dengan seenak pantat malah membawanya ke kelas X IPA-1.

Tapi jika Carel tetap diam saja dan menikmati angka dan rumus rumit di papan tulis itu, sudah pasti ia akan mati kutu. Lebih baik, sekarang cari alasan logis untuk keluar dari sini.

Carel mengamati sekitar sambil mengelus dagu. Bola matanya tak berhenti bergerak, terus mencari celah kecil untuk kabur. Tapi tidak berlangsung lama, saat sebuah penggaris panjang berada di depan matanya.

Carel dengan gerakan patah-patah mendongak, dan mendapati tatapan tajam Bu Widya—selaku guru Matematika. Wanita paruh baya itu spontan memukul keningnya dengan penggaris.

"Apa yang kamu lihat? Dari tadi saya perhatikan, kamu tidak memperhatikan saya, ya. Kamu ini murid baru. Cobalah untuk sopan pada guru yang mengajar."

Carel hanya cengengesan, tapi sangat berbeda dengan pikiran kotor yang ingin mengamplas bibir merah Bu Widya. Pasti akan keren.

Carel memegang perutnya saat Bu Widya akan melayangkan penggaris panjang itu. "Perut saya sakit, Bu. Saya mau izin ke kamar mandi."

"Selama sepuluh menit Ibu mengajar, kamu sudah bolak-balik ke kamar mandi. Apa kamu tidak bosan menggunakan alasan itu saja?"

Bu Widya menatap murid yang duduk di paling sudut, kemudian tersenyum pada Carel. Membuat pemuda itu bergidik tanpa sadar. Senyum dari bibir setebal buku IPA itu cukup mengerikan di matanya.

"Sepertinya, kamu harus diperiksa, Carel. Lebih baik, kamu ke UKS sekarang."

Carel memasang wajah berbinar, hanya sedetik sebelum memasang wajah sayu. Bibirnya sedikit gemeretak sambil memegangi perut. Harus terlihat profesional, agar acara bolos sekolah bisa terlaksana.

"Makasih, Bu. Saya akan—"

"Tapi kamu tidak akan sendiri ke sana."

"Hah?" Carel melongo.

Astaga. Padahal sedikit lagi untuk meraih kemenangan. Sedikit lagi untuk merasakan kebebasan. Sedikit lagi—

"Ken, kamu temenin Carel ke UKS, ya."

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang