Marvin mengendarai motornya ugal - ugalan, ia tidak bisa hanya diam dan menunggu Malik memberitahukan siapa anak itu, begitu pun Marvin tidak akan membiarkan Malik melindunginya.
Sudah cukup dulu Malik membela dan melindungi Jannifer darinya, kali ini Marvin tidak akan mengalah lagi.
Persetan dengan statusnya yang memang anak dari Malik, mungkin memang benar anak bisa durhaka kepada orang tuanya namun tidak ada yang bisa mengelak bahwa orang tua juga bisa saja berdosa pada anaknya.
Tidak benar kalau orang tua tidak mempunyai salah dan dosa pada anaknya, tidak tepat juga kalau setiap anak harus mengalah dan membenarkan kesalahan orang tuanya.
Manusia tetap sama. Sama - sama pasti akan melakukan kesalahan, kecil maupun besar. Bagaimana dampak dari perbuatan adalah tergantung dari bagaimana dia mengambil langkah setelahnya dan bagaimana orang lain menyikapi atau menanggapi kesalahan itu.
Marvin, tidak akan diam saja. Ia akan mencari tahu sendiri dan berjanji pada dirinya sendiri, anak itu tidak akan pernah hidup dengan damai.
Motor Marvin terus melaju meskipun rambu - rambu lalu lintas menghadangnya, banyak pengendara lain menklaksonnya berkali - kali, sayangnya ketua blackmoon ini sedang tidak mau di ganggu.
"Mom, sekarang Marvin akan balas semuanya. Dengan tangan Marvin sendiri," gumam Marvin dalam hati, amarahnya terbakar.
Walaupun sesungguhnya, jauh di dalam lubuk hati Marvin; tidak percaya, Malik akan mengkhianati Mutia sejauh dan sejahat ini.
Punya anak dari wanita lain? Gila!
Sampai di pekarangan markas blackmoon, deruman kencang motor Marvin mengejutkan para anggotanya. Bak auman singa jantan yang siap menerkam mangsanya.
"Vin," ucap Zayden sambil menepuk pelan bahu tegap dan lebar Marvin.
Marvin menoleh, matanya berkilat amarah yang ia tahan.
"Jasmine?" Tanya Marvin, sempat - sempatnya.
"Udah berangkat sekolah di anter daddy," jawab Zayden, ia juga tadi sudah di antar ke kampus tapi karena mata kuliahnya di geser jamnya, terpaksa Zayden harus mencari taksi online ke markas.
Marvin mengangguk, ia memasuki markas berniat menurunkan emosinya sebentar.
"Woy bos, tumben pagi - pagi. Bukannya pagi ini lo ada kelas? Bryan aja udah berang—"
Tio tidak melanjutkan ucapannya, air muka Marvin semakin menggelap saja. Padahal ia datang ke Markas ingin menenangkan diri, nyatanya semakin diam semakin terpikir dan semakin emosi.
Zayden mendekat, duduk di samping Marvin yang sedang mengusap wajahnya kasar, nampak frustasi sekali.
"Jasmine kayanya kangen sama lo," ucap Zayden berusaha mengalihkan pikiran Marvin yang sedang kusut itu.
"Nangis dia?" Tanya Marvin setelah diam beberapa saat.
"Enggak sih, cuma dia mimpiin lo. Telpon aja, kali aja jam pertama kosong," jawab Zayden, sambil berharap ucapannya menjadi nyata. Jasmine jamkos.
Karena hanya adiknya saja yang mampu menenangkan Marvin yang sedang panas.
Marvin mengangguk. Ia juga merindukan kekasih gemasnya itu, kalau ia perempuan dan seimut kekasihnya; Marvin ingin sekali menangis saat ini.
Dadanya begitu nyeri dan pedih.
Beberapa saat panggilan telepon Marvin pada Jasmine tidak di angkat, baru akan mematikannya, suara halus itu bak sihir yang langsung meredam seluruh gejolak emosi di dalam diri Marvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE LANGUAGE
Teen Fiction[ SEASON II ] Setelah semua sakit, bukankah seharusnya terbit senyuman; seperti pelangi yang hadir sehabis hujan turun? Namun, hidup mu dalam kehidupan ini tidak berjalan dan tidak berhenti hanya karena kamu menginginkannya. Tuhan adalah pengendali...