Ternyata

293 65 4
                                    

"Tapi itu bukan kali pertama kita ketemu, Ji." Kalimat dari Jevan membuat Jihan menoleh dengan cepat kearahnya disertai dengan tatapan terkejut dan juga bingung.

Jevan sedikit membasahi bibirnya dan pegangan tangannya pada setir mobil juga sedikit mengeras. Entah kenapa ia merasakan gugup.

"Kapan?" Tanya Jihan penasaran.

"Udah lama banget sih, lo pasti lupa."

Setelah mengatakan itu, mobil Jevan berhenti di pinggir jalan di samping taman kecil. Jihan memandang sekilas ketaman itu sebelum fokus kembali kepada Jevan.

"Kelulusan smp. Di taman ini." Kalimat dari Jevan membuat Jihan tersentak dan menyusuri pandangannya ke taman itu.

Ini memang taman yang selalu ia lewati sepulang sekolah dulu, karena memang rumahnya saat itu di daerah sini. Tapi seingatnya, ia selalu pulang dengan Tyaga dan tidak mungkin ia lupa kalau pernah bertemu-

Mata Jihan membulat sambil menoleh ke arah Jevan. "Cowok gembul yang kasih gue coklat waktu gue nangis disini karena ditinggal main sama Tyaga?"

Jevan mengangguk sambil tersenyum manis, "Ternyata lo inget."

Jihan menutup mulutnya tak percaya. "Astaga! Ini beneran, Jev?" Tanya Jihan masih tak percaya.

Jevan mengangguk lagi dan melihat ke taman itu. Ia masih bisa mengingat dengan jelas kejadian beberapa tahun silam.

Saat ia melihat seorang perempuan sedang menangis sendirian disana. Perempuan yang meskipun sedang menangis pun anehnya masih terlihat menawan di mata Jevan. Dengan sedikit keberanian, Jevan menghampiri perempuan itu dan memberi coklat kesukaannya agar perempuan itu berhenti menangis. Untungnya berhasil. Perempuan itu berhenti menangis dan memperlihatkan senyum paling cantik yang pernah Jevan lihat.

Sejak hari itu, Jevan sering sekali melewati taman itu hanya agar bertemu dengan perempuan yang bahkan tidak ia tanyai namanya. Jevan bertemu dengannya, tapi perempuan itu selalu digandeng oleh seorang laki-laki tampan, setiap hari. Jika dibanding dengan dirinya saat itu yang memang memiliki pipi chubby, ia tidak pantas bersanding atau bahkan sekedar berteman dengan Jihan karena perempuan itu terlihat sangat cantik dimatanya. Jadi Jevan hanya memandangi Jihan dari jauh, tanpa ia sadari, ia melakukan itu hampir setiap hari.

Setiap hari ia memandangi Jihan bersama dengan Tyaga, tentu saat itu Jevan belum tahu kalau ternyata Tyaga adalah saudara kembar Jihan, setiap hari juga ia mulai membiasakan diri untuk hidup lebih sehat. Mengurangi makanan manis. Rajin berolahraga. Dengan harapan bahwa suatu hari nanti, ia akan pantas bersanding dengan Jihan, kalau laki-laki itu, Tyaga, sudah tidak lagi bersamanya.

Tapi harapannya tidak kunjung terwujud. Bahkan sampai Jevan sudah jadi setampan sekarang pun, Jihan masih tetap besama laki-laki tampan itu. Yang dengan bodohnya Jevan selalu mempercayai bahwa hubungannya dengan Tyaga adalah sepasang kekasih.

"Kenapa lo baru bilang?" Tanya Jihan.

Jevan mengangkat bahunya, tentu tidak mau bercerita tentang detail bagaimana setelah hari itu ia selalu fokus pada Jihan.

"Rumah lo daerah sini juga Jev dulu?"

Jevan menggeleng, "Agak jauh sih, dua komplek dari sini. Tapi smp gue sejalan sama smp lo."

Jihan mengangguk-angguk, lucu rasanya bahwa ia pernah bertemu Jevan saat masih dibangku smp.

"Gue boleh tanya sesuatu?" Tanya Jevan, membuat Jihan menoleh padanya.

"Apa?"

Jevan sedikit ragu, "Lo suka sama Jonas?"

Mata Jihan membulat kaget dengan pertanyaan Jevan. Dan melihat reaksi itu, hati Jevan sedikit berdenyut nyeri. Apakah kali ini ia masih harus mengalah? Batinnya.

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang