"Syukurnya ini masih stadium awal, jadi masih bisa disembuhkan dengan operasi pengangkatan tumor." Jelas sang Dokter, "Tolong segera dijadwalkan untuk rawat inap dan pelaksanaan operasi."
Jihan menghembuskan nafas berat sambil melihat hasil pemeriksaannya ke rumah sakit hari ini. Sakit kepala yang ia alami akhir-akhir ini ternyata karena adanya tumor jinak yang bersarang di otaknya. Seperti kata Dokter tadi, untungnya Jihan segera memeriksakan kesehatan nya, sehingga tumor dapat ditemukan lebih awal, sebelum menjadi tumor ganas.
Jihan meraih ponselnya untuk menghubungi Tyaga.
Tidak dijawab. Ini hari Selasa pukul 12 siang, sepertinya Tyaga masih ada kelas.
Jihan menyandarkan tubuhnya ke bangku taman area rumah sakit. Lalu menghubungi nomor Mamanya. Juga tidak ada jawaban, mungkin mereka pun masih sibuk.
Perempuan itu menengadahkan kepalanya keatas. Haruskah ia tidak memberi tahu siapapun? Toh katanya ini masih stadium awal dan masih bisa disembuhkan. Haruskah Jihan memberitahu keluarganya saat ia sudah dinyatakan sembuh nanti?
"Ngapain lo disini?" Suara yang cukup Jihan kenal, telah berdiri dihadapan perempuan itu. Membuat Jihan tersentak kaget.
"J-jo?" Jihan segera memasukkan kertas hasil pemeriksaannya tadi ke dalam tas. "L-lo ngapain disini?"
Jonas mengernyit, lalu tersenyum pada Jihan. "Gue duluan yang nanya." Laki-laki itu duduk disebelah Jihan.
"G-gue periksa. Masalah sakit kepala gue kemaren."
"Dan hasilnya?"
"Cuma sakit kepala biasa." Jihan menjawabnya sambil menunduk, tidak berani menatap mata Jonas yang menyelidik.
"Bohong." Ucapan Jonas membuat Jihan menatap kearah laki-laki itu. "Gue tadi liat lo keluar dari ruangan Dokter Ortopedi ahli Onkologi, spesialis tumor dan kanker."
Jihan hanya bisa menghela nafas, sambil kembali bersandar pada kursi, memandang jauh ke air mancur yang berada ditengah taman rumah sakit.
"Is it bad?" Tanya Jonas, ikut bersandar dan menatap pada air mancur juga.
Jihan menggeleng, "Enggak. Masih stadium awal, masih bisa dioperasi katanya."
"Kanker?"
"Tumor otak jinak."
Lalu senyap beberapa saat. Mereka hanyut pada pikiran masing-masing.
"Lo udah hubungin keluarga lo?"
"Tadi udah gue telepon, tapi belum diangkat, nanti gue coba lagi."
Tangan besar Jonas menepuk kepala Jihan pelan, lalu mengusak rambut perempuan itu. "Jangan khawatir. Lo pasti sembuh. Lo cewek kuat."
Jihan tersenyum dan menoleh pada Jonas yang juga sedang menatap kearahnya. "Am i?" Dalam hati pertanyaan itu lebih menanyakan 'apakah ia akan sembuh'. Entah kenapa tiba-tiba ia memikirkan hal itu.
Jonas mengangguk, "Well, ada gue, perawat." Jonas menepuk dadanya bangga, membuat Jihan terkekeh. "Ada Jevan, dok-"
"Jangan!" Jihan menyela ucapan Jonas. "Jangan kasih tau siapa-siapa dulu, please? I mean, gue pasti sembuh kan? Jadi mendingan anak-anak kampus jangan ada yang tau. Ng-nggak penting juga untuk mereka tau kan?" Jihan berusaha menjelaskan.
"Tapi nanti mereka kecewa kalau nggak tahu, Ji. Mereka bukan sekedar 'temen' lo aja kan?"
Jihan menggigit kecil bibirnya, "Nanti gue akan kasih tau mereka kalau gue udah selesai operasi dan udah sembuh. Okay?"
Jonas diam sejenak, sebelum mengangguk mengiyakan.
***
"Kita terbang ke Australia besok. Biar lo dirawat disana, Mama sama Papa akan cari rumah sakit paling bagus disana." Begitu keputusan Tyaga setelah mengetahui penyakit kembarannya.
Jihan menghela nafas, "Minggu depan ujian, Ga. Lagian disini juga rumah sakitnya udah bagus."
"Masih bisa lo mentingin ujian? Ini tumor, Ji! Tumor Otak! Nggak bisa diremehin!" Nafas Tyaga sudah memburu. Dia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia tidak bisa menjaga kesehatan kembarannya sendiri? Adiknya?
Jihan mendekat pada Tyaga, lalu memeluk tubuh laki-laki itu dari samping. Jihan tahu apa yang Tyaga pikirkan, "Ini bukan salah lo, Ga."
Tyaga menangkup wajahnya dengan kedua tangan, "Gue nggak becus jagain lo." Suara laki-laki itu serak, menahan amarah dan tangis.
Jihan menggeleng di bahu Tyaga, "Enggak, Jangan berpikir kayak gitu."
Bahu Tyaga bergetar, laki-laki itu sudah menangis saat ini. Dan Jihan masih berusaha menenangkan Tyaga.
"Jangan nangis ah, kayak gue bakal mati aja." Goda Jihan.
Tyaga melepas paksa pelukan dari Jihan, "Nggak lucu!"
Tapi Jihan tertawa, terlebih melihat Tyaga yang sedang menangis di samping nya dengan hidung berair. "Lap dulu tuh ingus! Jorok!"
"Jihan nggak lucu ya! Pokoknya lo harus sembuh!" Ucapan itu disusul dengan suara Tyaga yang mengeluarkan ingusnya di tisu.
Jihan tertawa lalu mengusak rambut Tyaga. "Iya bawel! Dan jangan ajak gue terbang ke Australia. Lo nggak tau apa kalau naik pesawat malah bikin penyakit tumor lebih beresiko?"
Mata Tyaga membulat, "Emang iya? Coba gue tanya Jevan." Tyaga mengeluarkan ponselnya untuk bertanya pada Jevan, tapi ponselnya sudah direbut oleh Jihan.
"Can we keep it to ourselves? I mean, sampai gue sembuh?"
Tyaga mengernyit, "Kenapa?"
"Hmm, ya nggakpapa. Biar mereka nggak khawatir berlebihan kayak lo misalnya?"
Tyaga yang sebal karena di goda lagi oleh Jihan, refleks melamparkan bantal sofa kearah kembarannya itu. "Kampret lo emang!"
"Aduh, Tyaga, kan kena kepala gue!"
Laki-laki itu panik dan langsung menghampiri Jihan. "Sorry, sorry, lupa. Sakit? Kita kerumah sakit sekarang!"
Jihan tertawa, buat perempuan itu, menggoda kembarannya adalah hal yang wajib ia lakukan paling tidak sehari sekali.
Tyaga memutar bola matanya jengah, lalu merengkuh tubuh Jihan. "Lo harus sembuh! Lo pasti sembuh!"
Jihan tersenyum dalama pelukan itu, lalu mengangguk. "Iya, gue pasti sembuh."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BECAK
ChickLitPerkumpulan anak BEM Kocak. Slice of life yang pemeran utamanya Jihan.