Kejutan

233 50 5
                                    

"Tunggu bentar." Ucap Jevan, setelah memberhentikan mobilnya di parkiran minimarket.

Jihan menghela nafas lega saat Jevan keluar, akhirnya ia punya waktu untuk meredakan detak jantungnya yang tak karuan.

Ia tak henti-henti merutuki dirinya sendiri setelah menyatakan perasaannya tadi. Dirinya sangat malu, sampai-sampai tidak berani mengajak Jevan untuk berbicara. Untungnya Jevan juga tidak bertanya apa-apa lagi.

Jihan pikir Jevan akan ke kamar mandi atau ingin membeli sesuatu di minimarket itu, tetapi Jevan hanya berdiri di pelataran minimarket sambil melakukan panggilan telepon. Entah berbicara dengan siapa karena ia cukup lama melakukan panggilan telepon tersebut.

Saat Jevan sudah kembali kedalam mobil, Jevan tidak berkata apa-apa, bahkan laki-laki itu tidak memandang ke arah Jihan.

Jihan yang melihat itu merasakan gelisah yang luar biasa. Takut jika ternyata pernyataan sukanya tadi membuat Jevan terbebani.

"Kok kesini, Jev?" Tanya Jihan saat mobil Jevan berbelok di salah satu restoran masakan Italia.

"Makan malam dulu." Jawab Jevan, sambil turun dari mobil, sedikit berlari ke sisi pintu Jihan untuk membukakannya pintu. "Yuk!" Jevan mengulurkan tangannya, yang di sambut baik oleh Jihan.

Ini memang bukan kali pertama Jevan menggenggam tangan Jihan. Namun setiap kali ini terjadi, kupu-kupu di dalam perut Jihan selalu memberontak, mengirimkan debaran hati yang berlebih ke jantungnya.

Jihan sempat mematung beberapa detik saat sampai di meja yang diarahkan oleh pelayan restoran. Di meja besar itu, sudah duduk Mama dan Papanya, Ayah Jevan dan juga Tyaga.

Mereka semua tersenyum menyambut kedatangan Jevan dan Jihan.

"Ma? Kok ada disini?" Bisik Jihan, ia duduk di samping Grata.

"Di telepon Jevan tadi, di undang makan malam."

Jihan mengernyit, jadi tadi Jevan menghubungi keluarga Jihan dan juga Ayahnya untuk makan malam bersama? Tapi untuk apa?

"Ada apa sih?" Kali ini Jihan berbisik pada Tyaga.

Kembarannya itu mengangkat bahunya, tidak tahu.
"Tadi gue baru sampe apart, Mama sama Papa udah ngajak gue buru-buru pergi kesini."

Jihan yang masih bingung dengan situasi ini, hanya bisa pasrah duduk disana sambil menikmati hidangan yang terus berdatangan. Obrolan di meja juga hanya di penuhi oleh obrolan para orang tua.

"Jadi, sebenarnya begini Pak Putra." Damar membuka obrolan saat makanan penutup baru saja selesai di sajikan di meja mereka. "Undangan makan malam ajakan Jevan kali ini, tujuannya untuk 'meminta' Putri Bapak, nak Jihan."

Sendok ice cream ditangan Jihan dan Tyaga bersamaan jatuh ke meja. Mata mereka berdua juga sama-sama membulat kaget. Sedangkan Putra dan Grata sedang tersenyum bahagia.

Jevan sendiri sedang duduk dengan punggung tegak, sambil menatap kearah Putra dan Grata.

"Kami menerima dengan baik niat baik nak Jevan. Tapi semua keputusan ada pada Jihan." Jawab Putra.

Jihan memerlukan beberapa detik untuk berkedip dan kembali pada kenyataan. "Jev?" Hanya kalimat itu yang keluar dari mulat Jihan, dengan tatapan bertanya kearah Jevan.

Jevan menaruh kotak cincin di atas meja, semakin membuat Jihan terbelalak kaget.

"Aku serius." Ucap Jevan.

"Gimana, sayang?" Tanya Grata, mengusap kepala Jihan yang masih bingung.

"Kita nggak pacaran dulu? Maksudnya, apa ini nggak terlalu cepat?"

Jevan menggeleng, "Kita pacaran, tapi aku tetep mau ikat kamu dulu."

Tyaga menahan tawanya, karena mendengar Jevan sudah mengganti kata lo-gue ke aku-kamu.

Jantung Jihan semakin berdebar kencang. Dirinya memang pernah membayangkan berpacaran dengan Jevan bahkan sampai ke jenjang pernikahan. Tapi saat semuanya mulai terwujud, rasanya ia masih tidak percaya. Ia benar-benar merasa sedang bermimpi saat ini.

"Rencana, saya akan mengejar untuk bisa lulus tahun depan, Ma, Pa. Jika Jihan mau, kita bisa menikah setelah saya lulus, atau setelah Jihan lulus juga nggakpapa. Tapi untuk sekarang, Jevan mau ikat Jihan dulu sebagai tunangan Jevan." Ucapan tegas Jevan semakin membuat kepala Jihan pusing.

Grata tersenyum, "sekali lagi, semua keputusan ada di tangan Jihan." Grata menggenggam tangan putrinya itu. "Gimana, Jihan? Kamu mau tunangan sama Jevan?"

Jihan menelan ludah, lalu ia mengangguk. Membuat semua orang disana bernafas lega, terutama Jevan.

Laki-laki itu segera mengeluarkan cincin dari kotaknya dan memasangkannya di jari Jihan.

Saat Papa dan Mama nya saling berpelukan dengan Jevan dan Ayahnya. Jihan menatap intens kearah cincin yang sudah tersemat di jarinya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ekhem." Dehaman Jevan membuat Jihan menoleh kearahnya. "Awas, jangan sampai di lepas!" Ancam laki-laki itu, tetapi dengan nada yang lembut.

Secepat kilat, Jevan mendaratkan bibirnya di pipi Jihan, tanpa terlihat oleh siapapun karena saat ini para orang tua sudah sibuk membicarakan masa depan anak-anaknya.

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang