Operasi

317 65 1
                                    

Tyaga memandang kearah banyaknya orang yang sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Tidak hanya disini, tapi juga ada beberapa yang menunggu di luar ruang tunggu. Laki-laki itu tersenyum saat tahu kalau kembarannya, yang walaupun terkenal sadis saat menjabat sebagai ketua BEM, bisa di cintai sampai seperti ini.

Tadi saat Tyaga menyadari kalau Jihan tidak sadarkan diri, perhatian seluruh orang berpusat padanya yang sudah kepalang panik. Tetapi untungnya semua berjalan dengan lancar dan sangat cepat.

Jonas yang juga ada disana segera mengambil mobilnya dan menghampiri Jevan yang saat itu sudah menggendong tubuh Jihan karena Tyaga terlalu syok dengan apa yang baru saja terjadi. Jevan, Jihan, Tyaga dan Ruby segera naik ke mobil Jonas dan segera membawa Jihan kerumah sakit. Yang tanpa Tyaga sadari, ternyata banyak anak-anak BEM yang juga ikut bersama mereka untuk berada dirumah sakit, menunggu kabar baik dari para dokter yang sedang menangani Jihan.

"Tyaga." Suara Mamanya, Grata, yang serak karena menangis, langsung menghambur ditubuh Tyaga saat ia dan suaminya baru saja tiba di rumah sakit. "Maafin Mama nggak bisa jaga kalian dengan baik."

Tyaga menggeleng sambil mengusap punggung Mamanya, "Enggak, Ma, ini bukan salah Mama sama Papa."

Papanya, Putra, hanya bisa berdiri di belakang mereka sambil menahan air matanya. Merasa gagal sebagai orang tua yang tidak bisa menjaga anak-anaknya karena terlalu sibuk pada pekerjaan.

Pintu ruang operasi yang terbuka membuat semua orang yang berada disana segera bangkit dan memandang kepada jejeran dokter yang baru saja menangani Jihan.

"Operasi berjalan lancar. Syukur nya tumor tidak terlalu berbahaya sehingga bisa diangkat dengan baik. Tinggal tunggu pasien untuk sadar agar bisa kami cek kembali kondisinya." Jelas salah satu dokter yang memimpin operasi tersebut, membuat semua orang yang mendengarnya merasa lega.

Grata luruh dalam pelukan Tyaga tapi berhasil direngkuh kembali oleh Tyaga sebelum Mamanya menyentuh lantai. Hati Grata seakan bisa sedikit tenang mendengar kabar baik itu.

"Terimakasih, Dokter. Terimakasih banyak." Ucap Putra sambil menyalami para dokter satu persatu.

"Makasih, Yah." Ucap Jevan lirih kepada dokter yang tadi memimpin operasi Jihan, Ayah Jevan, Dokter Damar.

Damar mengangguk sambil memeluk dan menepuk punggung anaknya, tahu betul bahwa anaknya sedang sangat khawatir dilihat dari raut wajahnya saja.

***

Sudah dua hari sejak Jihan selesai di operasi, tetapi ia belum juga sadar. Saat ini Jihan sudah dipindah ke kamar rawatnya. Kata dokter, tidak ada masalah serius yang menyebabkan Jihan belum kunjung bangun, memang biasanya waktu sadar tiap pasien berbeda-beda. Tapi tetap saja keluarga Jihan merasa khawatir sebelum melihat Jihan bangun.

Dalam dua hari itu juga, anak-anak BEM silih berganti mengunjungi Jihan, atau lebih tepatnya mengunjungi Tyaga, Grata dan Putra, mencoba menghibur mereka agar mereka tidak melulu merasa khawatir. Syukurnya itu sangat membantu, terutama untuk Grata. Sekarang perempuan itu sudah bisa kembali tertawa, apalagi jika Miqdad dan Herdan yang berkunjung.

"Kita makan dulu, Ga. Biar mereka yang jaga." Putra memegang pundak Tyaga yang duduk di kursi di samping ranjang Jihan.

Tyaga segera berdiri dari sana yang segera digantikan oleh Jevan di kursi itu. Tersisa hanya Jevan dan Jihan yang berada dikamar. Sengaja Ruby mengajak yang lain untuk keluar sebentar. Entah mengapa ia ingin memberi Jevan kesempatan untuk berada disana berdua dengan Jihan.

Jevan meraih tangan Jihan dan dibawa ke keningnya, laki-laki itu menumpukan kepalanya pada tangan Jihan yang masih belum juga tersadar.

Jevan merutuki dirinya yang tidak memaksa Jihan untuk segera memeriksakan kesehatan nya tempo hari lalu. Padahal ia adalah calon dokter. Jevan juga mengingat dengan jelas bagaimana Jihan menganggap dirinya sebagai 'Dokternya Jihan' kala itu, tetapi ia malah tidak tahu soal penyakit yang di derita Jihan.

"Gue nggak becus jadi dokter ya, Ji?" Tanyanya lirih, yang tentu tidak mendapat jawaban dari Jihan. "Andai waktu itu gue maksa lo langsung ke dokter, mungkin nggak akan terlambat kayak gini."

Jevan menghela nafasnya berat, merasa tidak kuat membendung sakit dihatinya. Posisnya masih dengan bertumpu pada tangan Jihan yang ia genggam dengan erat.

"Bangun, Ji. Masih banyak hal yang harus gue lakuin sama lo." Dengan kalimat itu, jemari yang digenggam Jevan mulai sedikit bergerak.

***

Ayah JevanGalen Damar Adhitama / Damar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayah Jevan
Galen Damar Adhitama / Damar

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang