Kesal

254 62 3
                                    

Akhirnya Jihan menyerah, saat ini ia sedang duduk bersama Nadine di salah satu ruang seni lukis. Jihan lelah seharian ini diikuti oleh perempuan itu yang masih bersikeras agar ia mau memberi pendapat atas lukisannya.

"Ini Kak." Nadine memberi unjuk lukisan miliknya kepada Jihan.

Sejujurnya Jihan bukan orang yang biasa menilai atau mengomentari karya lukis lain, well setidaknya tidak dengan lantang. Karena ia hanya berpendapat untuk dirinya sendiri.

Lukisan Nadine memperlihatkan side profile seorang laki-laki yang dibuat sedikit buram, dengan coretan warna-warna cerah.

Jihan mengernyit kan alis, seperti mengenal laki-laki dalam lukisan itu. "Ini-?" Pertanyaan nya menggantung sebentar, "ini Jevan?"

Nadine terkejut, sedikit menggigit bibirnya karena gugup, tidak menyangka bahwa Jihan mengenali sosok laki-laki di lukisan itu, padahal ia yakin sudah membuatnya tidak terlalu terlihat.

Jihan menoleh pada Nadine karena tidak kunjung menjawab, tapi segala gelagat Nadine yang telah menjawab pertanyaan itu. Iya, laki-laki dalam lukisan ini pasti Jevan.

"Lo suka sama Jevan?" Tanpa Jihan sadari, tangannya terlipat di depan dada saat menanyakan itu.

Nadine menelan ludah kasar, lalu ia menunduk dan berbicara dengan cepat, "Sebenarnya aku udah nembak Kak Jevan dua hari lalu."

Mata Jihan membulat. Lalu mereka berdua sama-sama diam.

Nadine melihat kearah Jihan yang sedang menatapnya. "Ta-tapi Kak Jevan nolak aku." Jihan tetap diam. Lalu Jihan beralih kembali pada lukisan Nadine. Ada perasaan aneh di hatinya yang Jihan tahu perasaan apa itu.

"Ini udah bagus, layak buat diikutin ke acar kesenian Galeri Besar." Jihan kembali menatap Nadine lalu menepuk pundak perempuan itu sebelum berlenggang pergi.

Kelas nya sudah selesai hari ini, tapi rasanya ia enggan untuk langsung pulang. Langkah kakinya berjalan kearah Fakultas Kedokteran, menuju Ruang Kesehatan disana.

"Kenapa tiap kali gue kesini selalu lo yang jaga?" Tanya Jihan, saat baru masuk ke Ruang Kesehatan dan melihat Jonas disana.

Jonas terkekeh, menuntun Jihan kesalah satu kasur yang kosong. "Sakit apa lagi kali ini? Sakit kepala lagi?"

Jihan merebahkan tubuhnya dan meraih selimut, "Gue cuma butuh pelarian."

Alis Jonas mengernyit, "Sakit hati?"

Mata Jihan melotot tajam kearah Jonas. "Enggak!"

Jonas mengangguk, pura-pura percaya. Laki-laki itu menutup tirai dan beranjak meninggalkan Jihan untuk istirahat.

"Jo?" Panggil Jihan dari dalam bilik.

"Hmm?" Jonas sudah duduk dikursinya.

"Kalau ada yang nyariin gue, bilang gue nggak ada disini."

"Iya." Jawab Jonas mengulum senyum.

Laki-laki itu memainkan gantungan kunci yang diberikan oleh Jihan. Senyumnya semakin lebar saat ia tadi melihat gantungan kunci yang ia berikan tergantung di tas Jihan. Begini saja Jonas sudah merasa bahagia.

"Jo, ada Jihan?" Kedatangan Jevan membuat Jonas sedikit tersentak kaget.

"E-enggak ada." Jonas tergagap karena kaget, membuat Jevan curiga.

Jevan menatap kearah bilik yang tertutup tirai. Lalu matanya beralih pada Jonas yang memang terlihat mencurigakan.

Jevan melangkah masuk, "Je-Jev" panggil Jonas, berusaha menahan Jevan untuk tidak masuk. Tetapi Jonas benar-benar tidak pintar berbohong.

Alih-alih langsung membuka tirai, Jevan hanya berdiri disana. Membuka ponselnya untuk menelpon Jihan. Tidak diangkat, tapi Jevan dapat mendengar getaran ponsel dari dalam bilik.

"Jihan." Panggil Jevan setelah mematikan telponnya.

Jihan di dalam bilik sudah menghela nafas, bertanya-tanya bagaimana Jevan bisa tahu kalau dia ada disini.

"Lo sakit lagi? Ayo ke dokter Jihan." Padahal orang di dalam sana belum menjawab apakah itu Jihan atau bukan, tapi Jevan tahu kalau itu Jihan. Karena ia tadi melihat Jihan berjalan kesini.

"Gue nggak sakit." Jawab Jihan akhirnya.

"Ayo pulang." Ucap Jevan.

Jonas yang melihat ini merasakan dadanya berdenyut sakit, bertanya apakah Jihan dan Jevan sebenarnya berpacaran, melihat kedekatan mereka yang sedekat ini.

"Gue pulang bareng Jonas." Ucap Jihan asal, padahal ia tidak ada janji untuk pulang bersama dengan Jonas.

Jonas yang mendengar itu membulatkan matanya kaget, apalagi Jevan langsung menoleh menatap Jonas. Jevan memandang Jonas sebentar sebelum menghela nafas.

"Hati-hati." Kalimat Jevan terdengar dingin, dan beranjak dari sana.

Saat Jihan mendengar kalau Jevan sudah keluar dari ruang kesehatan, Jihan bersuara lagi. "Maaf ya, Jo. Nanti gue bisa pulang sendiri kok."

"Kalian berantem?"

"Enggak."

"Terus barusan ini apa?"

Jihan berpikir, ia pun tidak tahu kenapa ia menghindari Jevan. "Nggak tahu."

Jonas menghela nafas, lalu meraih tasnya diatas meja. "Ayo gue antar pulang. Kalau enggak, gue nanti yang diomelin Jevan."

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang