Dating

269 49 4
                                    

"Bukan ini yang gue maksud 'makan malam' bareng lo, Ji." Noah tersenyum kecut saat mengatakannya.

Jihan balas tersenyum, "Sorry." Merasa bersalah.

Jihan menepati janjinya untuk makan malam bersama Noah, tentu atas persetujuan Jevan. Dengan catatan, di restoran yang Jevan pilihkan.

Memang, Noah dan Jihan duduk di meja makan berdua saja. Tapi di meja sebelahnya, ada Jevan dan juga anak-anak lain yang sedang menikmati makan malam juga. Pajak jadian, begitu ajak Jevan ke anak-anak, yang tentu mendapat sorakan bahagia.

Noah akhirnya mengalah dan tetap melanjutkan makan malam, meskipun ia tahu bahwa Jevan selalu menatap ke arah meja mereka.

"Sad to know your taken." Ucap Noah.

Jihan tertawa kecil, "Kenapa? Kehabisan cewek di kampus?"

Noah tersenyum, "Kalau bisa sama lo, gue lepasin deh cewek-cewek lain."

Jevan yang mendengar itu berdecak keras, Jihan mengulum senyum mendengar itu, sedangkan Noah tidak peduli.

"Selama janur kuning belum melengkung, masih bisa lah harusnya." Kali ini Noah memang sengaja menggoda Jevan.

Tangan Jevan sudah mengepal, dan Jihan hanya tertawa melihat itu.

"Kalau lo terus-terusan begini, bisa-bisa gue langsung di nikahin besok." Ucapan Jihan membuat Jevan tersenyum miring. Not bad, pikirnya.

"Thanks, karena nggak mengingkari janji makan malam sama gue." Noah sudah selesai dengan makanan nya. "Yah meskipun nggak kayak yang gue bayangin karena banyak pengganggu." Ia meninggikan nada bicaranya di kata 'pengganggu'.

Noah berdiri dari duduknya, lalu menepuk pelan pucak kepala Jihan. "See ya next time."

Jevan berdiri dari duduknya untuk menyingkirkan tangan itu, tetapi Noah sudah terlanjur pergi.

"Ada lagi yang kamu janjiin makan malam? Suruh kesini sekarang!" Jelas kalimat dari Jevan itu penuh dengan rasa cemburu.

Jihan terkekeh, duduk di kursi di samping Jevan. "Nggak ada."

Hanya duduk di sampingnya saja, suasana hati Jevan sudah mulai membaik.

"Sial, aneh banget liat kalian kayak gini!" Miqdad bergidik melihat kedekatan Jihan dan Jevan sebagai sepasang kekasih.

Berbanding terbalik dengan Ruby dan Brea, yang senyum-senyum tidak jelas, sejak mereka tahu kalau Jihan dan Jevan resmi berpacaran. Tentu mereka seperti itu, mereka adalah team Jevan-Jihan, remember?

"Gue juga aneh. Tapi seneng, nggak nyangka aja. Udah gitu sat-set banget langsung tunangan. Congrats ya." Ucap Ruby.

Rasanya, kata 'tunangan' masih sangat asing di telinga Jihan, meskipun secara tidak langsung ia memang sudah diikat seperti itu oleh Jevan.

Jevan meraih satu tangan Jihan, lalu menggenggamnya erat di bawah meja. Rasanya, riuh obrolan di meja itu tidak sampai di telinga Jihan. Yang ia rasakan hanya perasaan membuncah di hatinya saat menggenggam tangan Jevan. Lagi-lagi, aneh sekali untuknya mendapati perasaan seperti ini, padahal ini bukan kali pertama Jevan memegang tangannya.

"Jev," panggil Jihan pelan, membuat laki-laki itu menoleh padanya. "Let's get out from here." Bisik Jihan. "I want us to have a properly date."

Jevan tersenyum mendengar itu, lalu ia mengangguk.

"Mau kemana?" Tanya Tyaga, yang melihat Jihan dan Jevan bersiap untuk undur diri.

"Nge-date." Jawab Jevan, mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya dan menitipkan itu pada Trisha.

"Have fun." Teriak Ruby dan Brea bersamaan.

Jevan dan Jihan tertawa kecil dan segera memisahkan diri dari mereka.

"Kemana enaknya?" Tanya Jihan, saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.

"Sebenernya aku ada siapin sesuatu buat kamu." Jawab Jevan, melajukan mobilnya keluar dari area restoran.

"Apa?"

Jevan tersenyum, "Liat aja nanti." Tangannya mengusap pipi Jihan, membuat perempuan itu ikut tersenyum.

Jihan menyukai kejutan, jadi ia sangat tidak keberatan untuk menunggu apa yang sudah di siapkan Jevan.

Mobil Jevan memasuki area parkir di sepanjang pertokoan Pantai Indah Kapuk, menuju ke area belakang pertokoan yang juga masih ada beberapa toko disana. Lalu Ia memarkirkan mobilnya di area parkir yang masih kosong.

"Ayo!" Ajak Jevan, dan segera turun dari mobil.

Jihan masih bertanya-tanya dalam hati kemana Jevan akan membawanya.

Jevan menggandeng tangan Jihan untuk menyusuri pertokoan itu yang rata-rata adalah sebuah coffee shop atau bar kecil. Lalu mereka berhenti di salah satu pintu besi berwarna putih, Jevan mengeluarkan kunci dari kantungnya untuk membuka pintu itu.

Jihan masih diam, menungu kejutan yang akan Jevan tunjukkan kepadanya. Sambil menebak-nebak apa kejutan itu.

"Tunggu disini." Ucap Jevan, saat mereka berdua telah masuk ke dalam ruko.

Jevan meninggalkan Jihan sebentar di depan pintu untuk menyalakan lampu.

Mata Jihan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang terpancar dari lampu yang baru saja Jevan nyalakan. Lalu saat sudah terbiasa, mata Jihan langsung melebar dengan senyum yang terpasang di bibirnya.

Ruangan itu tidak terlalu besar, di dominasi dengan warna putih dan cream, juga ada beberapa vas bunga di berbagai sisi yang berisikan bunga Lily segar. Ada cukup banyak kanvas kosong dengan berbagai ukuran yang bersandar di dinding, beserta dengan cat dan juga berbagai alat lukis lain.

"Studio kamu." Ucap Jevan, memeluk tubuh Jihan dari belakang. "Maaf kecil, tapi ini tempat paling strategis menurut aku. Nggak jauh dari apart kamu dan rumah ku. Nggak jauh dari kampus juga. Dan, nggak jauh dari rumah sakit tempat aku koas nanti. Suka nggak?"

Jihan mengangguk, tentu ia suka. Ia memimpikan memiliki Studionya sendiri sejak lama. Dan sekarang Jevan mewujudkannya.

Jihan tidak pernah menceritakan secara detail kepada Jevan seperti apa studio impiannya. Tetapi studio ini cukup menggambarkan studio impiannya itu.

"Thanks." Jihan berbalik untuk menatap Jevan, meletakkan tangannya di leher kekasihnya dan memeluknya erat.

Jevan menyambut pelukan itu dengan senang hati. Ia menenggalamkan wajahnya di perpotongan leher Jihan.

Saat Jihan melepas pelukannya, matanya beradu dengan mata Jevan. "I love you." Ucap Jihan lembut.

Jevan tersenyum, "I love you." Balasnya, lalu mendekatkan diri untuk memagut lembut bibir kekasihnya.

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang