Cemburu

476 71 7
                                    

Miqdad menghambur turun dari panggung dan segera memeluk tubuh Jihan. "Aaaa Jihan sembunyiin gueee!!! Gue maluu!!!" Bagaimana caranya bersembunyi di balik tubuh Jihan yang ukuran tubuh nya dua kali lebih kecil dari si gapura kabupaten?

"Baru juga gue mau bilang 'lo keren, Miq' eh nggak taunya malah gini." Jihan menggelengkan kepalanya sambil terkekeh geli.

Dengan sedikit tenaga, Jevan membantu Jihan terlepas dari pelukan Miqdad. "Mending lo beneran sembunyi kalau emang malu, karena Rose lagi jalan kesini." Ucapan Jevan membuat Miqdad menoleh ke arah Rose dan Isla yang memang sedang berjalan ke arah mereka.

Miqdad menelan ludahnya, nggak bisa, udah kepalang tanggung. Masa udah nyatain di depan banyak orang, malah menciut waktu si Rose dateng? Hadapi, Miq!

"Jev, gue mau ngomong sama lo, bisa?" Tanya Rose setelah sampai di sisi panggung. Membuat dada Miqdad terasa ngilu. Padahal ini bukan kali pertama melihat Rose dan Jevan berbincang, tapi rasanya yang kali ini berbeda. Hatinya seakan dihantam batu besar.

Jevan melirik sekilas kearah Miqdad sebelum menjawab, "Bisa, habis acara ya."

Rose mengangguk dan kembali menjauh, tanpa benar-benar menoleh kearah Miqdad atau Jihan.

"Jihaaaaan." Suara Miqdad sedikit serak, sebelum pria itu kembali memeluk tubuh mungil Jihan. Hatinya sakit.

Jevan yang terlihat akan memisahkan pelukan mereka lagi, mengurung kan niatnya karena tangan Jihan memberi tanda stop kepada Jevan.

Jihan membalas pelukan Miqdad sambil menepuk punggung laki-laki itu, membawa Miqdad menjauh dari samping panggung.

***

Acara Kesenian sudah selesai, saat ini beberapa anggota BEM sedang berkumpul di salah satu warmindo yang buka 24 jam di dekat kampus.

Ucapan selamat tidak henti-hentinya keluar dari mulut semua orang untuk Rose, karena karyanya berhasil terpilih dengan vote terbanyak yang akan di pamerkan di Galeri Besar Kampus. Ucapan selamat juga keluar dari mulut Jihan. Ia mengucapkannya dengan tulus, meskipun tetap ada sedikit rasa sedih di dalam hatinya.

Sesekali Jihan melamun sambil mengaduk mie kuahnya. Tyaga yang melihat itu segera merapatkan dirinya untuk duduk lebih dekat pada Jihan.

"Ji," panggilnya pelan, membuat Jihan menoleh kearah Tyaga. "Masih ada next event." Tyaga mengusap tangan kiri Jihan yang berada di bawah meja, untuk sedikit menenangkan perempuan itu.

Jihan tersenyum kecil dan mengangguk, memilih melanjutkan makan mie kuahnya. Pandangan mata Jihan tidak sengaja melihat Rose dan Jevan yang saat ini sedang berdiri di depan pintu masuk warmindo, mungkin sedang membicarakan hal yang tadi ingin Rose sampaikan.

Jihan juga menoleh kearah Miqdad yang juga sedang menatap sendu kearah Rose dan Jevan.

"Miq, udah jangan sedih, masih ada gue." Jihan menyandarkan kepalanya ke bahu Miqdad karena ia duduk diantara Tyaga, dikirinya, dan Miqdad, disebelah kanannya.

"Huh, apa tuh maksudnya? Maksudnya lo mau jadi pacar gue kalau Rose nolak gue nantinya?" Goda Miqdad.

Jihan terkekeh, "Nggak bisa bayangin sih kalau gue sama lo pacaran kayak gimana, Miq." Membayangkannya saja sudah membuat Jihan tertawa, pasti lucu.

Tanpa mereka berdua sadari, kedekatan Jihan dan Miqdad membuat seseorang meraskan panas di dalam hatinya. Dia cemburu.

***

"Mau ngomong apa, Ros?" Tanya Jevan saat mereka berdua memisahkan diri sebentar di depan warmindo.

Rose memejamkan matanya sambil mengepalkan tangan "Gue suka sama lo, Jev." Ucap Rose cepat, mirip seorang rapper. Tapi Jevan tetap bisa mendengarnya dengan jelas.

"Maaf, Ros, gue-"

"Gue nggak minta lo jawab, Jev." Potong Rose dengan cepat, karena ia tahu apa yang akan Jevan ucapkan. Apalagi kalau bukan penolakan? Diawal kalimat Jevan saja sudah ada kata 'maaf'.

"Gue suka sama lo sejak pertama kita ketemu sebagai anggota BEM. Gue nyatain ini cuma biar lo tau sama perasaan gue, kayak apa yang tadi Miqdad lakuin waktu di kampus." Pipi Rose merona mengingat pengakuan Miqdad tadi siang. "Gue nggak mau punya perasaan menyesal karena gue nggak nyatain ini ke lo. Sorry ya, Jev."

Jevan tersenyum, menampilkan kedua lesung pipinya. "Kenapa harus minta maaf sih, Ros. Harusnya gue yang minta maaf karena nggak bisa bales perasaan lo." Jevan meletakkan tangannya di kepala Rose, menepuknya pelan. "Maaf ya."

Rose mengangguk. Meskipun tahu ia di tolak, tapi hatinya terasa ringan. Dia tidak menyesali pernah menyukai seorang Jevan yang teramat baik di matanya. Dia juga tidak menyesali menyatakan perasaannya saat ini.

"Sekali lagi selamat ya karena karya lo udah terpilih." Tangan Jevan sudah turun dari puncak kepala Rose. "Dan selamat membuka hati lo ya, Ros."

Rose menatap kearah Jevan dengan senyum mengembang di bibirnya. Benar apa yang dikatakan Jevan, ia akan mulai membuka hatinya.

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang