Over Protective

279 58 3
                                    

Jihan sedang berada di ruang BEM, mengurus beberapa berkas untuk serah terima jabatan yang akan di lakukan beberapa minggu lagi. Diruangan itu juga ada Jevan, Devon dan Ruby yang juga sedang melakukan hal yang sama.

"Beb, laper." Ucap Devon pada Ruby.

Ya, mereka resmi menjadi sepasang kekasih sejak acara penembakan masal seminggu yang lalu.

Ruby membuka aplikasi hijau diponselnya untuk mencari makanan apa yang akan mereka pesan, karena Ruby juga sudah lapar. "Kalian makan juga kan?" Tanya Ruby kepada Jihan dan Jevan.

"Iya." Jawab Jihan dan Jevan pun mengangguk.

"Permisi." Suara seseorang dari pintu utama sambil mengetuk pintu dua kali. Pintu terbuka dan menampakkan Jonas yang berdiri disana dengan satu kantung kresek besar.

"Kenapa, Jo?" Tanya Jevan, berjalan menghampiri laki-laki itu, dengan Jihan yang mengekor dibelakang Jevan.

"Makan siang." Jonas menyodorkan kantung kresek itu kearah Jihan. "Yang Kotak biru punya lo ya."

"Repot aja, Jo. Thanks ya." Ucap Jihan sambil menyerahkan kantung kresek itu pada Jevan yang saat ini sedang berdiri disampingnya.

"Langsung dimakan ya, jangan sampai telat. Jangan lupa minum obat juga." Pesan Jonas sambil menepuk pundak Jihan. "Gue duluan ya." Pamitnya pada Jihan dan Jevan.

Pandangan Ruby sudah menyelidik saat Jihan dan Jevan telah kembali duduk ditempat mereka.

"Asik makanan gratis." Seru Devon, mulai membuka kotak-kotak makan pada kantung kresek yang diberikan Jonas.

Isi dari kotak-kotak makan berwarna putih, ada buah-buahan potong, ayam tumis mentega, brokoli tumis dan nasi putih yang dicampur dengan beras merah. Sedangkan di kotak biru milik Jihan, ada potongan buah alpukat dan salmon, juga kacang-kacangan. Hal-hal yang bagus dikonsumsi oleh penderita tumor otak.

"Kayaknya Jonas suka sama lo deh." Mulut Ruby memang sudah tertular Miqdad, sangat terang-terangan.

Jihan sedikit tersedak, "Apaan sih!" Elak Jihan.

"Ya dia kan nggak pernah kirim makanan kayak gini, apalagi ada kotak makanan khusus buat lo yang menunya beda."

Jihan berpikir bagaimana caranya mengelak agar Ruby tidak semakin curiga. Tapi belum sempat ia menjelaskan, pintu utama kembali terbuka, menampilkan Tyaga dengan nafas terengah dan peluh di sekujur tubuhnya. Laki-laki itu baru saja berlari.

"Jihan lo harus makan siang! Sorry gue telat bawain. Jangan sampai lo telat mak-" ucapan Tyaga terhenti karena ia baru menyadari bahwa Jihan memang sedang menikmati makan siangnya.

Jihan mendelik kesal, ini salah satu alasan ia tidak mau Tyaga tahu tentang penyakitnya. Kembarannya ini bisa menjadi sedikit over protective.

"Aneh banget nggak sih?" Lagi-lagi Ruby curiga, pasalnya Tyaga tidak pernah menyuruh Jihan untuk makan sampai sebegininya.

Devon hanya mengedikkan bahu.

"Lo masih sakit, Ji?" Kali ini Jevan yang bertanya, karena ia pun merasa janggal dengan apa yang dilakukan Jonas dan Tyaga.

"E-enggak. Cuma lagi pemulihan aja." Jawab Jihan gugup, sambil melirik tajam kearah Tyaga.

Tyaga menaruh makanan yang tadinya untuk Jihan, di meja. "Jev, tolong habis makan lo suruh Jihan minum obat sama vitaminnya ya. Jangan sampai dia nggak minum obatnya. Gue duluan ya, masih ada kelas."

Ucapan Tyaga ke Jevan makin membuat Jihan geram dan sedikit was-was.

Untungnya Jihan sudah menaruh obat dan vitaminnya di kotak obat tanpa pembungkus, jadi tidak ada kesempatan untuk Jevan melihat obat apa yang Jihan minum.

"Are you okay?" Tanya Ruby, yang sedikit kaget saat melihat empat pil yang baru saja Jihan tenggak.

Jihan mengangguk, "I'm okay."

"Boleh gue lihat obatnya?" Memang dasar calon dokter, Jevan ingin mengecek obat apa yang dimimun Jihan, seperti yang sudah Jihan perkirakan.

"Cuma vitamin, Jev." Tolak Jihan sambil tersenyum.

Ketukan pintu terdengar lagi dari pintu utama ruang BEM. Jonas datang, lagi. Jihan menghela nafas sambil berjalan kearah Jonas, tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan. Menanyakan apakah Jihan sudah minum obatnya atau belum.

"Lo udah minum oba-" benar kan? Jihan membekap mulut Jonas sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Membawa Jonas sedikit menjauh dari ruang BEM.

"Jo, stop! Lo malah bikin anak-anak curiga!"

Jonas menaikkan satu alisnya, lalu ia melihat kearah pintu utama ruang BEM, ada Jevan yang sedang memandang kearahnya dan Jihan.

"Sorry." Jawab Jonas. Ia hanya mengkhawatirkann Jihan, tidak mengira bahwa perlakuannya akan membuat Jihan merasa keberatan.

"Sorry juga. Dan makasih." Jihan menghela nafas. "Makasih karena udah khawatirin gue. Tapi gue beneran nggakpapa, gue gak akan lupa makan dan minum obat. Kalaupun lo khawatir, lo bisa chat atau telpon gue. Nggak perlu sedikit-sedikit nyamperin gue kayak gini.

Maksud gue, lo pasti punya kesibukan lain daripada harus ngurusim gue. I'm really fine, Jo."

Jonas mengangguk, lalu tersenyum pada Jihan. Benar, Jonas tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Jihan, ia tidak berhak untuk itu.

Saat Jonas sudah pergi. Jihan tersentak kaget saat melihat Jevan yang berdiri di pintu utama ruang BEM.

"Se-sejak kapan lo disitu?" Tanya Jihan, tetapi Jevan hanya menatapnya sebentar, lalu beranjak pergi dari ruang BEM.

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang