"Jihan." Panggil Jonas, membuat perempuan itu menoleh padanya.
Hati Jonas sakit melihat mata itu. Mata yang ternyata tidak tertuju padanya. Bukan ia tidak pernah merasa kalau Jihan menyukai Jevan, tapi ia hanya denial selama ini. Ada setitik harapan bahwa itu tidak benar. Tapi kali ini sepertinya Jonas tidak bisa menampiknya lagi. Di mata Jihan hanya ada Jevan.
"Cukup, Ji." Ucapan Jonas membuat alis Jihan mengernyit, bertanya apa maksud Jonas. "Cukup memendam perasaan lo."
Mata Jihan membulat sepersekian detik sebelum ia merubahnya kembali menjadi biasa.
Jonas tahu bahwa lagi-lagi Jihan ingin menampik perasaannya itu. "Kenapa nggak bilang aja ke dia?"
Jihan tersenyum, lalu menggeleng dan menaikkan bahunya. "Nggak tahu. Mungkin gue takut di tolak."
"Please! Nggak mungkin lo di tolak." Jonas fokus kepada cake yang tadi ia pesan, meskipun sudah tidak memiliki nafsu lagi untuk memakannya.
"Sorry ya, Jo." Kali ini ucapan Jihan yang membuat Jonas mengernyit. "Karena gue nggak bisa balas perasaan lo." Ucap Jihan lirih.
Lagi-lagi hati Jonas dilanda sakit. Kali ini bahkan lebih sakitnya. Karena akhirnya, Jihan mengakui bahwa ia tidak bisa membalas perasaan yang Jonas miliki.
Jonas tersenyum getir. "Ternyata sakit ya, Ji, ditolak. Gue jadi tau kenapa lo takut ungkapin." Jonas meraba-raba bagian dadanya yang sesak.
"Sorry ya, Jo." Ucap Jihan lagi, sangat merasa bersalah.
Jonas mengusap kepala Jihan. "Nggakpapa, walaupun di tolak, gue nggak menyesal udah nyatain perasaan gue ke lo. Gue akan lebih menyesal kalau gue nggak pernah ngungkapin ini."
Jihan tahu kenapa Jonas berbicara seperti itu. Jonas ingin ia juga melakukan hal yang sama kepada Jevan.
"Go! Gue yakin dia belum sampai parkiran." Meskipun ia sakit hati, ia tetap ingin menyemangati Jihan soal perasaannya kepada Jevan. Jonas ingin Jihan bahagia walaupun tidak bersamanya. Terdengar munafik memang, tapi ia tidak akan setega itu memaksakaan perasaan Jihan kepadanya.
Jihan menggigit bibir, masih tidak yakin.
"Go, Jihan!" Bisik Tyaga, yang sedari tadi menyimak obrolan Jihan dan Jonas disampingnya.
Jihan menoleh pada kembarannya itu. Memang selama ini hanya Tyaga lah yang mengetahui perasaan Jihan. Tidak sekali dua kali Tyaga menyuruh Jihan mengungkapkan perasaannya. Tetapi Jihan selalu menolak suruhan itu dengan berbagai alasan.
"Tapi.."
"Lo mau menyesal?" Tanya Tyaga sambil memegang bahu Jihan. Jihan menggeleng. "Then go! Sakit emang di tolak, tapi lo akan lebih sakit lagi kalau nanti Jevan pacaran sama cewek lain tanpa dia tahu perasaan yang lo punya."
Jihan bisa membayangkan itu. Dan ia tidak mau itu terjadi.
Jihan menghela nafas sambil meraih tasnya sebelum bergegas pergi tanpa berpamitan.
"Eh lah, mau kemana tuh anak?" tanya Miqdad.
Tyaga hanya menjawabnya dengan tersenyum, lalu ia menoleh pada Jonas yang sedang menatap kepergian Jihan.
Tyaga menepuk pundak Jonas yang merosot itu. "Thanks ya, bro."
Jonas hanya menoleh sambil menghela nafas berat, semakin membuat bahunya merosot.
"Pesen yang banyak, Jonas yang bayarin!" Teriak Tyaga, membuat semua anak-anak menjerit girang.
Bahu Jonas langsung menegak, "Apa-apaan?!" Kaget akan ucapan Tyaga barusan yang tidak melalui persetujuannya.
"Nah gini dong tegak, jangan lesu!! Masih ada yang mau sama lo! Tuh!" Tyaga menunjuk ke arah Naya dengan dagunya.
Jonas berdecak, "Gue nggak bayarin ya!"
"Elah, Jo, sekali-sekali sedekah." Tyaga kali ini merangkul pundak Jonas sambil tertawa tanpa dosa.
"Sejak kapan Tyaga deket sama Jonas?" Tanya Ruby lirih kepada Miqdad, tentu, sobat gosipnya.
Miqdad mengangkat bahu, sama bingungnya. Padahal Tyaga adalah tipe orang yang selalu dingin kepada orang baru.
"Jangan-jangan.." Ucapan Miqdad menggantung.
"Jangan-jangan?" Tanya Ruby sambil menatap muka Miqdad yang serius itu.
"Tyaga belok?" Celetukan Miqdad membuat Ruby memukul kepalanya itu. "Apaan sih, By, sakit!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BECAK
Literatura KobiecaPerkumpulan anak BEM Kocak. Slice of life yang pemeran utamanya Jihan.