Pertama Kali Bertemu

238 56 2
                                    

"Jevan emang selalu baik gitu ya sama cewek?" Pertanyaan dari Brea mengundang Miqdad, Naya, Jihan, Devon dan Ruby, melihat kearah pandang Brea.

Disana terlihat Jevan sedang berbicara dengan seorang perempuan. Sepertinya bukan pembicaraan yang serius karena keduanya sesekali melontarkan tawa.

"Anak kesenian, Ji?" Tanya Miqdad, karena melihat perempuan itu membawa tas tabung gambar yang biasa ditenteng oleh anak kesenian atau anak arsitektur.

Jihang mengangguk, menyuapkan sesendok nasi soto daging kedalam mulutnya.

"Adik tingkat?" Kali ini Naya yang bertanya dan dijawab anggukan lagi oleh Jihan.

"Namanya siapa?" Tambah Ruby. Kepala Jihan langsung terasa pusing rasanya.

Jihan membuang nafas kasar lalu berdiri dari duduknya, membuat kelima temannya kaget. "Panggil aja sih kalau penasaran!" Kalimat Jihan sedikit membentak sebelum akhirnya ia berlalu dari situ.

"Setdah kenapa tu anak? Lagi PMS?" Celetuk Miqdad.

Jevan yang juga melihat itu langsung menyudahi pembicaraannya dengan Nadine dan segera menyusul Jihan.

Lagi-lagi ia melihat Jihan berjalan menuju ruang kesehatan, dan Jevan sedikit tidak menyukai itu. Jadi Jevan menarik tubuh Jihan sebelum perempuan itu berhasil sampai di ruang kesehatan.

"Lo kenapa? Sakit lagi? Ayo gue anter ke dokter. Nggak ada alasan lagi kali ini." Jevan meraih tangan Jihan dan sedikit memaksa perempuan itu untuk segera berjalan menuju mobilnya.

Jihan yang kepalanya memang sudah pusing lagi, memilih untuk menurut, tenaganya untuk memberontak hilang tertelan rasa sakit di kepalanya.

Dengan telaten, Jevan membawa Jihan untuk duduk di kursi penumpang, tak lupa juga memasangkan sabuk pengaman untuk Jihan sebelum ia sendiri masuk ke dalam mobil.

"Gue nggak mau ke dokter. Gue mau pulang." Ucap Jihan, saat Jevan baru saja akan menyalakan mesin mobil.

Jevan menghela nafas, "Lo beneran nggakpapa?" Tangannya mengecek suhu tubuh Jihan yang memang tidak panas, tapi ia bisa melihat kalau wajah Jihan sedikit pucat.

Jihan mengangguk, "Gue udah ke dokter kemarin."

"Hasilnya apa?"

"Cuma kecapekan." Jihan menjawabnya sambil memandang ke luar jendela, tidak berani menatap kearah Jevan karena laki-laki itu akan tahu kalau ia sedang berbohong.

Mencoba sedikit percaya pada ucapan Jihan, akhirnya Jevan menuruti keinginan Jihan agar perempuan itu bisa pulang.

"Jev, lo inget nggak kapan kita ketemu?" Tanya Jihan tiba-tiba, tapi perempuan itu tetap menatap kearah luar jendela.

"Kapan?" Jevan sekilas menoleh pada Jihan sebelum memfokuskan pandangannya lagi kedepan.

"Waktu Ospek hari pertama." Kali ini Jihan sudah tidak lagi menatap kearah luar jendela, tapi ia menunduk untuk memainkan jari-jari tangannya sendiri.

Jihan tidak tahu kenapa ia tiba-tiba ingin membahas soal ini, ia hanya sedang mengikuti kata hatinya.

"Waktu itu ada anak cewek yang gak pake almamater, dia panik dan takut untuk masuk gerbang-"

Jevan memotong ucapan Jihan, "terus lo kasihin alamamater lo ke dia biar dia selamat dari amukan kating. Lo bilang ke dia 'Nggakpapa pake aja, gue anak yang punya kampus, gue nggak takut sama kating'"

Jihan kaget, "Kok lo tahu?" Karena Jihan kira, Jevan datang setelah kejadian ia mengucapkan kalimat itu pada perempuan yang ia pinjami alamamater milikinya.

Jevan berdeham, "Gue tadinya juga udah mau ngasih almamater gue ke dia, tapi keduluan lo. Eh, taunya setelah ngomong gitu, lo malah telpon Tyaga biar dia ngasihin alamamater nya buat lo."

Jihan dan Jevan tertawa saat mengingat itu, "Dan dengan teganya si Tyaga gak minjemin gue! Tapi lo nyamperin gue, ngasih alamamater lo."

"Tapi lo tolak, karena lo nggak mau gue kena marah kating." Tambah Jevan.

"Lo malah taruh lagi alamamater lo di mobil dan sialnya emang cuma kita berdua yang nggak pake alamamater hari itu. Habislah kita berdua."

Lampu merah membuat mobil Jevan berhenti, dan Jevan memandang kearah Jihan yang juga sedang menatapnya.

"Dan lo selalu lindungin gue hari itu dari amukan kating. Setelah gue pikir-pikir lagi, gue belum ngucapin Terimakasih hari itu." Tatapan Jihan melembut saat mengatakannya.

"Ya gimana mau bilang makasih, lo langsung pergi entah kemana setelah masa hukuman berakhir. Dan kita ketemu lagi pas masuk BEM." Jevan merapikan beberapa helai rambut dan meletakkannya dibelakang telinga Jihan.

Jihan tersenyum, "Makasih ya, Jev, for everything."

Jevan mengangguk, dan melajukan mobilnya kembali karena lampu sudah berganti hijau. "Tapi itu bukan kali pertama kita ketemu, Ji."

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang