Kenapa

279 55 1
                                    

"Kenapa nggak masuk?" Tyaga menegur Jevan yang hanya berdiri di depan pintu apartment Jihan. Entah berapa lama ia berada disitu sejak berpapasan dengan Jonas tadi.

"Gue langsung balik aja. Kayaknya Jihan udah tidur." Jawab Jevan.

"Enggak mungkin sih dia tidur jam segini, lagian anak-anak juga baru pulang. Masuk aja dulu, Jev. Masih banyak makanan juga." Tyaga mulai berjalan untuk membuka pintu apartment.

Jevan menggeleng, "Nggak, gue balik aja. Salam aja buat Jihan, suruh dia istirahat dan jangan lupa minum suplemen nya." Jevan menepuk pundak Tyaga. "Balik ya, Ga."

Tyaga hanya bisa menghela nafas. Tidak hanya Jevan yang mendengar pernyataan cinta Jonas tadi, tapi Tyaga juga mendengarnya.

"Ngapain lo?" Tanya Tyaga saat melihat Jihan sedang duduk di balkon sambil memandang ponselnya.

"Nggak ngapa-ngapain." Jihan segera mematikan layar ponselnya yang sempat dilihat oleh Tyaga. Ruang chat Jihan dan Jevan.

Tyaga duduk disebelah Jihan. "Dapat salam dari Jevan. Katanya lo disuruh istirahat dan jangan lupa minum suplemennya."

"Dia hubungin lo?"

"Enggak, barusan dia ada di depan. Tapi nggak masuk."

Jihan kaget, "Kenapa?" Perempuan itu mulai mengambil ponselnya lagi untuk menghubungi Jevan.

Tyaga sedikit menimbang-nimbang sebelum menjawab. "Dia tadi denger waktu Jonas bilang suka sama lo." Kalimat dari Tyaga itu membuat Jihan membeku, terjeda beberapa detik untuk mendial nomor Jevan.

"Halo, Jev." Ucap Jihan saat Jevan mengangkat telepon darinya. "Lo dimana? Ada yang mau gue omongin."

"Gue udah di jalan, Ji. Sorry, buru-buru tadi." Jawab Jevan berbohong, padahal ia masih berada di parkiran apartment Jihan.

"Kenapa nggak mampir walaupun sebentar? Kenapa lo nggak balas chat gue tadi?"

"Udah kemaleman, biar lo istirahat aja. Ini baru mau gue chat, lo udah telepon duluan."

Jihan mengangguk sambil berdeham. Terjadi kesunyian untuk beberapa saat. Hanya nafas mereka yang terdengar melalui telepon.

"Jev,"

"Udah malam, Ji. Lo istirahat ya." Ucap Jevan, tanpa memperdulikan apa yang akan Jihan katakan.

Jihan diam, tahu jika Jevan menghindari pembicaraan darinya. "Lo juga istirahat."

"Iya. Gue tutup ya. Night, Jihan."

"Night, Jev."

Jevan menyandarkan kepalanya setelah Jihan menutup panggilan telepon mereka.

Suara Jonas yang menyatakan perasaanya kepada Jihan tadi terngiang-ngiang di otaknya. Kejadian tempo hari lalu saat Jevan menanyakan apakah Jihan menyukai Jonas juga langsung terputar di otaknya. Dia tidak bisa memungkuri rasa sesak yang melandanya saat ini. Andai dia lebih berani.

"Kenapa lo nggak bilang aja ke Jevan?" Tanya Tyaga, yang sedari tadi masih menemani Jihan.

Jihan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, merapatkaan selimut yang melingkari tubuhnya. Ia hanya diam sambil memandang kedalam pekatnya malam.

"Jangan bilang lo masih pesimis sama hidup lo." Ucap Tyaga, merasa sedikit kesal jika memang benar itu yang dipikirkan Jihan.

Tyaga berdecak karena Jihan masih saja diam. Menandakan bahwa Jihan mengiyakan perkataan Tyaga barusan.

"Operasinya berjalan lancar. Lo cuma harus rutin check up sama jaga kesehatan, Ji. Jihan yang pesimis gini nggak kayak Jihan yang gue kenal!"

Jihan tersenyum tipis, tidak bisa menampik bahwa ia masih saja takut bahwa penyakitnya akan kambuh lagi. Masih ada sedikit rasa takut kalau hidupnya tidak akan lama.

Tyaga meraih tangan Jihan sehingga kembarannya itu menatap kearah Tyaga saat ini. "Semua bakal baik-baik aja, Ji. Nggak ada lagi yang perlu lo takutin. Jalanin hidup lo dengan bebas kayak yang selalu lo lakuin. Gue, Mama sama Papa akan bener-bener lebih ekstra lagi jagain lo. Kita nggak akan ngebiarin lo sakit lagi. Jadi, tolong percaya sama gue. Percaya sama Mama dan Papa. Dan percaya juga sama diri lo sendiri kalau lo akan sembuh total dan nggak sakit lagi."

Air mata sudah menumpuk di pelupuk mata Jihan. Ia menyesali sikapnya yang masih saja pesimis padahal ada orang-orang yang selalu mengusahakan segala cara agar Jihan tidak sakit lagi. Ada orang-orang yang sangat sayang padanya dan tidak akan membiarkan ia terpuruk sendirian. Bolehkah ia berharap kali ini semuanya akan baik-baik saja? Bolehkah kali ini ia meminta untuk hidup dalam jangka waktu yang sangat lama bersama orang-orang yang ia sayangi dan juga menyayanginya?

"Maaf." Ucap Jihan lirih, dan Tyaga segera membawa Jihan ke dalam pelukannya. Menenangkan kembarannya yang sedang menangis.

"Semua bakal baik-baik aja, Ji. Gue janji semua bakal baik-baik aja."

***

BECAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang