CELINE - 37

22 5 0
                                    

.
.
.
.
.

Entah harus Celine syukuri atau tidak, dikala tubuhnya berada di ambang batas kemampuannya. Keanu dan Bella selalu muncul dalam mimpinya. Seolah memberi ketenangan. Namun, Celine tahu itu hanyalah keinginan alam bawah sadarnya yang tidak akan pernah terjadi secara nyata.

Dengan separuh tubuh bersandar di kepala ranjang, Celine dalam diamnya menikmati kesunyian kamarnya. Kedua pasang mata indahnya mengikuti gerak pelan kelambu putih yang tertiup angin. Warna hijau dari halaman rumahnya terlihat samar dari balik kaca kamarnya.

Kali ini Celine sungguh tidak sedang memikirkan apapun. Kepalanya tidak berisik, dan hatinya terasa kosong. Tuan putri itu sungguh seperti boneka porselen yang indah.

Ketukan pelan di pintu kamarnya, membawa sosok Dhita dengan nampan berisi semangkuk sup dan air putih. Wanita paruh baya itu dengan telaten meletakkan sebuah meja kecil di atas kasur Celine dan menata nampan yang dibawanya di atasnya.

"Dokter Will akan kembali siang nanti, untuk melepas selang infus anda." Dhita meletakkan sepasang alat makan di samping mangkuk. "Sekarang anda harus makan sup ini barang sedikit sebelum minum obat."

Celine meraih sendok di depannya tanpa bertanya dua kali. Dengan perlahan dia menyuapkan sendok demi sendok sup ke dalam mulutnya. Sesekali di teguknya air putih. Butuh waktu cukup lama untuk mengosongkan isi mangkuk itu, hingga Dhita membereskan sisanya dan beralih menyodorkan beberapa butir obat.

Kembali, Celine tanpa bersuara melakukan permintaan Dhita dengan patuh. Dia meletakkan tangan kirinya di atas pangkuan dengan hati-hati karena tak ingin terluka akibat jarum infus. Dhita yang melihat nonanya tidak bereaksi apapun, akhirnya memilih kembali duduk di ujung ranjang setelah mengangsurkan bekas mangkuk pada pelayan lain.

Tentu saja, tindakan Dhita itu mengundang kerut halus di dahi Celine. "Ada perlu apa lagi madam?"

"Apa kondisi tubuh anda sudah jauh membaik?"

"Kurasa sudah membaik. Hanya saja aku tidak bertenaga untuk melakukan apapun."

"Apa anda ingat bagaimana anda pulang kemarin?"

Celine mengangguk. "Iya." Ingatannya kembali pada saat tubuhnya basah terguyur hujan di depan kediaman Dazl. Di antara kesadarannya yang semakin menghilang, dia masih ingat bagaimana Artyo dan Zari datang dengan tergopoh-gopoh dan membawanya pulang.

Mungkin sebuah pilihan bagus, karena saat ini Celine ingin menjauh dari semua orang. Dan rumah sakit punya satu orang yang ingin Celine hindari juga.

"Zari tadi, dia bilang akan kembali setelah mengurus sesuatu. Sedangkan, Artyo.... dia belum kembali selepas mengantar Dokter Will kembali ke rumah sakit." Terang Dhita lembut. Kedua matanya yang selama ini memancarkan aura tegas kini melembut dan hampir saja meneteskan air mata.

"Tidak perlu menangis madam. Aku sungguh tidak apa." Ucap Celine dengan senyum tipis di wajah cantiknya.

"Mana mungkin, anda tidak apa. Jangan, berpura-pura kuat nona. Biarkan kesedihan meluruhkan hati anda. Agar tidak ada sesak yang tertinggal."

"Sayangnya aku sudah tidak merasa sedih lagi madam. Entahlah-mungkin karena ini sudah ke sekian kalinya? Atau perasaanku sudah mati bersama dengan semua kenyataan ini." Celine mengadah ke langit-langit kamarnya. Menatap potongan bintang yang akan menyala dalam gelap. "Mungkin saja ini memang takdir. Aku tidak pernah pantas dicintai atau dicintai siapapun. Kurasa, itu juga yang membuat Ayah dan ibu meninggalkanku."

"Anda tahu itu tidak benar. Tuan Keanu dan Nyonya Bella sangat bahagia memiliki anda. Sayalah saksinya."

"Tapi, anda juga saksinya madam. Bagaimana mereka mengabaikan kehadiranku. Hingga akhir hayat mereka, aku mungkin tidak berarti apapun. Itu sebabnya mereka pergi tanpa berpamitan denganku."

broken PRINCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang