84

909 130 7
                                    

"Dia harus merasakan apa yang aku rasakan!" Seru Jollene kembali mengangkat tinggi-tinggi balok kayu ditangannya.

"Hentikan, gila kamu!" Cegah Airuz sambil mencekal balok kayu yang sudah diayunkan oleh adiknya. Airuz merampasnya dan melemparnya sejauh mungkin. Ia menatap tajam kearah adiknya yang sudah kesetanan itu. "Apa yang kamu pikirkan? Jangan bertindak seenaknya, kamu bisa merusak semua rencana yanh sudah aku susun, bodoh." Airuz ikut terbawa emosi.

"Aku cuma memberinya pelajaran, tidak lebih." Jawab Jollene enteng.

Airuz menghembuskan nafas kasar. "Beruntung Thalia dalam kondisi terikat, kalau tidak maka kamu yang akan dihabisi olehnya."

Jollene menatap Airuz dengan tatapan meremehkan. "Apa yang bisa dia lakukan, disini aku tidak sendirian."

"Justru Thalia itu orang paling berbahaya disini. Dia bisa membunuhmu dengan mudah seperti dia menghabisi nyawa anak buahku. Tidak hanya itu, kamu melakukan semua ini apa otakmu tidak berpikir resikonya?" Airuz gemas menghadapi ulah adiknya kali ini.

Jollene menggelengkan kepalanya, ia tampak tidak takut sama sekali. Airuz berdecak kesal. "Aku tidak takut."

Airuz menatapnya tidak percaya. "Kalau begitu, silahkan lanjutkan kalau kamu tidak ingat apa yang sudah dilakukan Ace padamu," Jollene seketika mematung. "Coba kamu pikir, segila apa Ace tanpa Thalia? Sekarang, kamu bertindaknya seperti ini. Bayangkan semarah apa Ace nanti padamu? Kita semua bisa dalam bahaya, kamu mengerti tidak?" Airuz mengomel dengan nada naik tiga oktaf. Jollene sadar dia telah melakukan kesalahan.

"Kita menculik mereka semua karena ada tujuan, terutama Thalia. Kalau kamu bertindak sendiri dan membuatnya tewas, maka semua rencanaku akan gagal," Jollene kembali melunak, ia menatap kesal kearah Thalia yang sudah meringkuk tidak berdaya. "Keluar kamu, jangan berani masuk kesini lagi!" Perintah Airuz tegas. Jollene tersentak, ia melangkah keluar meninggalkan ruangan dimana Thalia disekap.

Airuz menghela nafas kasar, ia segera memeriksa kondisi Thalia yang hampir tidak sadarkan diri. "Ambilkan aku tas perlengkapan obat!" Perintahnya pada pria bertubuh tambun.

Airuz melepaskan ikatan Thalia, ia tahu luka ditubuh Thalia tidak akan membuat hidupnya terancam. Pria itu segera mengobati luka dikepala Thalia, membersihkan tubuhnya yang terluka dan mengoleskan salep. Beruntung luka pukulan tidak mengenai bagian punggung yang akan menyulitkan dirinya.

Pergerakannya terhenti saat kedua matanya melihat batu kemerahan menyembul dari balik baju Thalia. Ia tergelitik untuk melihatnya, tangannya terulur untuk meraih dan melepas kaitannya, Airuz menatap lamat-lamat batu merah tersebut. Senyumnya terukir sangat lebar seakan mendapatkan kejutan tak terduga.

"Setidaknya aku harus berterima kasih pada Jollene." Gumamnya pelan.

Airuz segera menyimpan batu ruby itu disaku celananya. Tangan kekarnya kembali berkutat mengobati Thalia, Airuz membuka tas perlengkapan medisnya untuk mencari obat yang ia inginkan. Secepat kilat, ia menemuka dua macam obat berbentuk vial dan spuit. Jarum tajam menembus permukaan penutup yang terbuat dari karet, secepat kilat menyedot habis seluruh obat yang ada didalamnya dan segera menyuntikkannya secara intravena agar reaksi obatnya berjalan cepat.

"Suruh satu orang kesini untuk menjaganya!" Perintahnya pada pria bertubuh tambun itu, Airuz pun pergi meninggalkan Thalia yang tidak sadarkan diri.

***___***

Serpihan cahaya bersinar seperti refleksi pelangi, memanjang dan tiada ujungnya. Bedanya serpihan cahaya itu berwarna senada, merah keemasan. Arche tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat gemerlapnya yang menghiasi langit malam saat itu. Mata hazel-nya tidak pernah lepas menatap keluar jendela pesawat pribadi miliknya, membentang seperti tak ada ujung.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang