91

525 95 9
                                    

Pintu terbuka hanya sepersekian inci, memperlihatkan sebagian mata gelap milik Thalia yang memantau keadaan di luar ruangan dimana ia mendapatkan perawatan bersama Nezza. Hanya ada satu penjaga, perawakannya hampir sama dengan Thalia, wanita itu telah bersiap dengan suntikan berisi obat penenang ditangannya.

Thalia terdiam sejenak mengamati benda ditangannya, sebuah spuit dengan obat penenang didalamnya. Tak lama, ia kembali mengintip di sela-sela pintu.

Sebuah spuit lengkap dengan obat penenang, apakah itu termasuk kelalaian jika meninggalkan obat di ruangan bersama dengan pasien yang terbaring tidak berdaya? Jawaban Thalia ialah iya, obat tersebut termasuk obat injeksi yang sangat beresiko jika ditinggalkan di ruangan pasien. Kini, senyum Thalia terukir penuh makna setelah melihat banyak kumpulan spuit tergeletak di atas nakas, hatinya penuh rasa syukur sebab pemantauan sepele seperti ini luput dari perhatian mereka.

Langkah kakinya mengendap-ngendap, mata elang yang waspada itu menyorot satu penjaga yang berjaga di luar ruangan. Thalia segera membekap dan menyuntikkan cairan itu tepat di lehernya—ia berharap obatnya tidak salah jalur, sebab fatal jika hal itu terjadi. Namun, Thalia kali ini memilih untuk tak acuh. Tubuh pria yang sempat memberontak itu perlahan melemas dan jatuh tidak sadarkan diri.

"Cepat juga obat ini bekerja." Gumam Thalia ngeri.

Ia segera menyeret pria itu menuju ruang rawat inapnya. Thalia melepas baju yang dikenakan pria tersebut, ada rasa risih dalam hatinya sebab ia memakai pakaian milik orang lain. Ia memutuskan hanya memakai jaket hitam dan topinya saja. Ia tidak bisa melepas celana hitam panjang hitam milik pria itu. Sangat tabu untuknya, meskipun ia sering melihat organ vital lawan jenis saat praktek di rumah sakit—terutama saat memasang kateter pada laki-laki—tolong, jangan bayangkan!

"Biar deh, celana piyama ini yang aku pakai, krem mencolok seperti ini. Semoga saja tidak membuatku ketahuan." Ucapnya kemudian mengikat dan menyembunyikan tubuh pria itu di dalam lemari yang kosong, ia meraih alroji dan ponsel milik pria itu.

Thalia segera keluar secara sembunyi-sembunyi, ia terpaksa melumpuhkan beberapa penjaga yang lengah saat bertugas—tentu satu persatu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Langkahnya hampir menyentuh pintu luar, dua perawat masuk ke dalam ruangan sontak membuat Thalia kalang kabut bersembunyi di balik buffet kecil.

"Memangnya kecelakaan itu terjadi malam hari ya? Pak Airuz dari pagi buta berangkatnya. Apa tidak bosen menunggu terlalu lama?" Tanya perawat perempuan.

"Hush, diam kamu mah. Kita menurut saja apa yang dibilang pak Airuz, tugas kita di sini hanya mengawasi pasien tidak lebih."

"Tapi, Zav. Serius aku belum menerima kondisi kita secara akal dan logika saat ini. Aku tidak menyangka, time travel itu ada." Wanita itu berseru senang.

Zavino asisten Airuz menghela nafas. "Rencana apapun yang mereka lakukan, aku tidak ingin ikut campur. Tugasku kesini hanya untuk menolong pak Airuz menjaga dua pasiennya. Nyonya Nezza, ibu dari pak Airuz dan dokter Thalia."

Wanita itu menghela nafas. "Bagaimana bisa kondisi dokter Thalia seburuk itu. Aku khawatir padanya." Ucapnya teringat akan obat yang tak sengaja ia jatuhkan.

"Tidak apa-apa, kamu jangan jhawatir. Lakukan saja sesuai advise dari pak Airuz." Wanita itu mengangguk paham.

Thalia menyimak pembicaraan mereka, ia berdecak kesal sebab Airuz telah mengusiknya dan Ace—terutama Jollene.

Kedua perawat itu masuk ke dalam dapur untuk mempersiapkan makan malamnya. Thalia kembali melangkah cepat ke arah pintu, ia mengintip sejenak, dua penjaga berjaga di depan pintu. Thalia berdiri tegak, ia merapikan jaket beserta topi miliknya, rambut panjangnya tergelung rapi dan tersembunyi didalam topi.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang