90

554 99 2
                                    

Kedua mata Thalia terbuka, menatap tanpa minat ke arah langit-langit yang berwarna putih polos itu.

Sudah berapa lama tidak sadarkan diri? Thalia menerka dalam hatinya, ruangan itu tertutup tanpa memberikannya clue tentang waktu. Pagi, soang, sore, atau malam. Ia tak dapat menebaknya.

Samar-samar Thalia menghembuskan nafas panjang, rasa capek dan nyeri kembali mendera seluruh tubuhnya. Akibat obat pelumpuh, Thalia hanya mampu terbaring di atas brangkar tanpa bisa berbuat apa-apa. Tentu saja, rasa nyeri itu membuatnya tidak nyaman karena ia tidak bisa menggerakan ekstreminitas-nya meski untuk memijat lembut di titik nyeri tubuhnya.

Tunggu, ia dapat merasakan nyeri kembali setelah sekian lama tubuhnya mati rasa? Thalia terperangah, ia mengerjapkan kedua matanya tidak percaya setelah berhari-hari Thalia tidak dapat merasakan sama sekali.

Sejak kapan ia bisa merasakan kembali? Pikirannya melayang disaat perawat masuk untuk mengecek kondisinya, ia dapat merasakan lengannya di tekan oleh alat pengukur tensi. Hatinya awal mendung sekarang berubah cerah, ia mendapatkan sedikit secercah cahaya bahwa tubuhnya akan kembali pulih.

Thalia mencoba mengirimkan beberapa rangsangan pada kedua tangan dan kakinya, sedikit kaku namun ia dapat menggerakkan sedikit demi sedikit jari-jari tangannya. Berapa lama Thalia harus menunggu agar tubuhnya kembali pulih sepenuhnya? Sejujurnya, ia sangat memgkhawatirkan Ace.

Pintu berderit terbuka membuat Thalia sedikit terlonjak kaget, buru-buru ia memejamkan kembali kedua matanya. Berpura-pura tidur. Suara langkah kaki lebih dari satu orang dan suara dorongan roda brangkar terdengar oleh Thalia. Perlahan suara itu mendekat ke arahnya, lebih tepatnya ke samping kanan dimana brangkar Thalia terbaring di sana.

"Kondisi nyonya Nezza stabil meskipun sempat drop. Aku harap kita bisa segera kembali ke masa depan, sebab pasien ini membutuhkam fasilitas lebih baik demi menunjang perkembangan kesembuhannya." Ucap perawat itu dengan nada suara penuh kecemasan.

Perawat satunya mengangguk pelan, "Iya, kamu benar. Semoga saja, nyonya Nezza bisa bertahan sedikit lagi." Sahutnya sambil melirik ke arah Thalia. 'Aku harap, nona Thalia juga baik-baik saja.' batinnya melanjutkan.

Thalia diam dan mendengarkan percakapan mereka, ia berusaha untuk tidak menimbulkan ekspresi apapun di wajahnya, meskipun tak yakin wajahnya bisa mengeluarkan ekspresi atau tidak dikala tubuhnya mengalami kelumpuhan total.

Selepas kepergian kedua perawat Airuz, Thalia kembali membuka kedua matanya. Ia mengigit bibir bagian dalamnya, hatinya tergeliti ingin memastikan seseorang bernama Nezza yang kini terbaring di brangkar tepat di sampingnya. Perlahan, Thalia memaksakan diri untuk memiringkan kepalanya. Berat dan penuh perjuangan sebab tubuhnya masih dibawah pengaruh obat.

Manik gelapnya melebar sempurna, tak terasa mulut Thalia juga refleks terbuka.

'Mommy!' batin Thalia terkejut.

Ia tercengang melihat sosok mirip mommy-nya terbaring tidak sadarkan diri.

'Bukan. Itu bukan sosok mommy.' lanjutnya.

Thalia menatapnya lekat. Meskipun sama, tetapi tubuhnya tampak lebih kurus dari Nizzy, wajahnya begitu pucat, dan guratan lelah akan kehidupan juga jelas terlihat. Thalia masih mematung setelah ia berhasil memiringkan sedikit kepalanya, tubuhnya mendadak gemetar, pikiran penuh dengan sejuta pertanyaan karena ia bisa melihat dengan jelas wanita itu.

'Bagaimana dia bisa ada di sini?' batin Thalia menyadari akan kehadiran tantenya—Nezza.

***___***

"A—" Thalia lega setelah ia mendengar suaranya sendiri.

Kedua kaki dan tangannya juga sudah bisa ia gerakkan. Thalia memanfaatkan ruangan tanpa pengawasan perawat itu untuk melakukan atau melatih mobilisasi dini tubuhnya, perlahan menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya, mencoba memiringkan tubuhnya, atau menggerakkan kepalanya. Cukup bosan Thalia berada di ruangan tertutup itu berdua dengan Nezza.

THE BEAUTIFUL EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang