Benjamin berpikir sejenak setelah mendengar pernyataan Ina yang cukup mengejutkan. Dia akhirnya bertanya dengan penasaran.
"Lalu apa permintaanmu adalah untuk membunuhnya?"
Fred pun kini juga memikirkan hal yang sama.
"Tidak. Membunuhnya sekarang hanya akan menjadi bumerang," balas Ina.
"Kamu benar-benar akan melakukan balas dendam?"
"Ya," jawab Ina singkat namun tegas.
"Kalau begitu permintaanmu adalah..."
"Saya ingin meminta dukungan anda," ujar Ina.
Benjamin diam membiarkan Ina untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Saya ingin anda menunjuk saya sebagai penerus anda," timpal Ina.
Ina menginginkan dukungan yang kuat. Dia paham mengalahkan Jeremy bukanlah hal yang mudah. Jika ada Benjamin di belakangnya, maka akan memudahkan rencananya.
"Apa sejak awal kamu sudah merencanakan ini?" Benjamin bertanya secara implisit apakah Ina memang sudah merancang pertemuan mereka.
"Tidak, pertemuan kita sejak awal adalah sebuah kebetulan."
Ina benar-benar jujur. Karena memang sedari awal pertemuan mereka memang tidak disengaja. Dia awalnya hanya ingin menolong seorang kakek tua. Hanya saja, setelah melihat wajahnya dia segera menyadari identitas Benjamin. Tetapi, Ina merasa bahwa bertemu dengan Benjamin adalah kesempatan yang harus dia manfaatkan dengan baik.
"Lalu apa yang Aku dapatkan jika membantumu?"
Ina mengerti bahwa Benjamin tidak memerlukan apa-apa lagi dalam hidupnya. Walau begitu dia tetap tidak akan menyerah untuk membujuknya.
"Saya tahu bahwa banyak pengikut maupun rekan anda yang ingin menggulingkan anda. Saya akan membantu anda untuk mempertahankan perusahaan anda. Saya tidak akan mengambil bagian setelah rencana saya selesai. Ini hanya sementara. Jika saya membuat kesalahan yang merugikan, anda dapat memutuskan perjanjian ini secara sepihak. Dan lagipula anda dan mendiang istri anda tidak memiliki anak. Walau mungkin nantinya ada banyak pertentangan, tapi saya yakin ide ini bukanlah ide yang buruk."
"Lancang!" Fred berbicara dengan nada tinggi saat Ina membahas topik tentang anak.
"Tenang, Fred," kata Benjamin dengan ringan.
Benjamin memang sangat mencintai istrinya. Bahkan ketika istrinya di diagnosis tidak dapat memiliki anak, dia tetap bersikeras menikahinya. Ketika istrinya meninggal dua puluh tahun yang lalu, dia tidak pernah berniat untuk menikah lagi. Jika dia merindukannya, dia selalu mendatangi makam istrinya. Selain itu, semenjak istrinya meninggal, dia tidak terlalu memperhatikan kesehatannya. Oleh sebab itu terkadang penyakitnya kambuh.
Sebenarnya, kehadiran Ina selama ini cukup menghiburnya. Walau gadis itu tidak terlalu banyak bicara, tetapi Benjamin sendiri juga sudah lama tidak melakukan perbincangan ringan dengan orang lain. Melihat tatapan keras kepala namun tegas milik Ina mengingatkannya pada sosok Raymond. Teman lamanya itu juga memiliki watak yang keras. Dan ketika dipikirkan kembali, mereka berdua sangatlah mirip.
"Memiliki seorang cucu bukanlah hal yang buruk." Benjamin tertawa ringan.
"Tuan," tukas Fred tidak setuju seraya memperlihatkan muka masamnya.
"Kenapa? Karena dia cucu perempuan Raymond, maka tidak salah kan jika Aku juga dianggap sebagai kakeknya."
Fred kini hanya diam membisu.
"Aku ingat ada beberapa kalung peninggalan istriku. Tolong ambilkan, Fred," perintah Benjamin.
"Saya tidak akan memakainya," potong Ina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sereina
FantasyBELUM REVISI (18+ banyak adegan kekerasan dan manipulatif. Diharapkan untuk tidak meniru maupun melakukan hal-hal tersebut di kehidupan nyata. Cerita ini hanya fiksi semata.) Seorang anak harus menyaksikan kematian tragis dari kedua orang tuanya. Da...