60. The Final Battle; 0.1

150 10 0
                                    

Draco dan Regulus berdiri di depan gerbang yang telah hancur. Pintu besar itu terguling ke tanah, terbakar oleh kobaran api hitam yang tidak mungkin dipadamkan. Asap pekat memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam darah dan puing-puing yang berjatuhan. Jeritan kesakitan dan suara kutukan yang meledak seperti simfoni yang terus memekakkan telinga.

Draco memandang kehancuran itu dengan mata melebar. Dadanya berdegup kencang, seakan siap meledak kapan saja. Ketakutan mencengkeram hatinya, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri di sisi Regulus. Dia tahu, apa pun yang mereka hadapi setelah ini, akan jauh lebih menakutkan daripada pemandangan mengerikan ini.

Sementara itu, Regulus melangkah maju dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Matanya gelap, penuh tekad. Ada sesuatu dalam cara dia bergerak—sebuah kekuatan yang sulit dijelaskan. Seolah-olah kehancuran di sekitarnya hanyalah angin lalu. Kutukan dan mantra yang beterbangan ke arahnya terpental begitu saja, tidak mampu menembus auranya.

Draco mengerutkan kening, menatap Regulus dengan kekaguman bercampur kecemasan. Dia tahu Regulus adalah seorang penyihir yang sangat berbakat, tetapi aura ini... aura ini terasa berbeda. Ini adalah aura seseorang yang telah kehilangan segalanya, dan akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali apa yang berharga baginya.

"Regulus," Draco memanggil pelan, suaranya bergetar karena takut. "Apa kau yakin dia ada di sini?"

Regulus tidak menjawab. Matanya terus memindai sekeliling dengan tajam. Setiap langkahnya seperti dituntun oleh naluri yang tak dapat dijelaskan, seperti ada benang tak terlihat yang membawanya lebih dekat ke tujuan.

"Dia di sini," akhirnya Regulus berbicara, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Aku bisa merasakannya."

Mereka terus berjalan melewati medan perang, menghindari reruntuhan dan tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan. Kutukan melesat ke segala arah, tetapi Regulus melindungi mereka berdua dengan mudah, tangannya bergerak cekatan mengangkat mantra pelindung.

"Ayahnya Sally," Draco berpikir dalam hati, matanya menatap punggung tegap Regulus. "Dia tidak hanya penyihir berbakat. Dia seseorang yang... tak akan membiarkan apa pun menghalangi jalannya."

Mereka akhirnya tiba di halaman utama Hogwarts, tempat pertempuran paling sengit terjadi. Regulus berhenti sejenak, pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri di tengah kobaran api.

Itu Sally.

Dia berdiri di sana seperti dewi kehancuran, dikelilingi oleh api hitam yang menari-nari liar di sekeliling tubuhnya. Rambutnya yang putih berkibar karena panas, dan matanya kosong, seperti tidak ada jiwa yang tersisa. Dia mengangkat tangannya, melontarkan bola api hitam ke arah kelompok penyihir yang mencoba melawannya. Jeritan mereka menggema saat api itu menghanguskan segalanya, bahkan mantra pelindung mereka.

Draco menarik napas tajam, tangannya gemetar. "Sally..." gumamnya.

Regulus mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Draco untuk tetap di tempat. "Jangan mendekat," perintahnya tegas. "Aku akan menanganinya."

Namun, sebelum Regulus sempat melangkah maju, Sally berbalik, menatap mereka. Pandangan matanya kosong, tetapi ada kilatan singkat—sesuatu yang tak bisa dijelaskan—saat melihat ayahnya dan Draco.

"Sally," Regulus memanggilnya, suaranya rendah namun penuh emosi. "Hentikan ini. Kau tidak harus melakukannya."

Sally tidak menjawab. Sebaliknya, api hitam di sekitarnya tampak semakin membesar, seperti merespons kemarahan dan kehampaan di dalam dirinya.

Regulus menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju dengan perlahan. "Aku tahu kau masih di sana," katanya lagi, suaranya menjadi lebih lembut. "Aku tahu ini bukan dirimu, Sally. Lihat aku. Aku ayahmu."

THE LAST BLACK- DRACO MALFOY x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang