Setiap senyuman dan sentuhan kecil membawa getaran, sementara di sekitar mereka, pasar tetap berdenyut dengan energi khasnya.
Di antara hiruk pikuk pedagang dan pembeli, senyuman, tatapan, dan sentuhan kecil membawa getaran yang tak terduga. Cinta h...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen
🫘🫘🫘
Saat jam pulang tiba, Koko melaju dengan motornya—sebuah Vario putih pink tak memiliki spion yang biasa disebut Vario mber.
Dengan celana jeans belel dan jaket parasut yang warnanya mulai pudar, Koko tampak santai, tak peduli bahwa di area parkir sekolah baru anak kembarnya, deretan mobil-mobil dari Avanza hingga Pajero berjejer rapi. Ia hanya ingin menjemput anak-anaknya tepat waktu.
Namun, ketika Pitaloka melihat Koko dari kejauhan, wajahnya langsung berubah. Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya, matanya menatap ke arah teman-temannya yang mulai melirik ke motor ayahnya. Beberapa anak berbisik-bisik sambil menunjuk Koko yang turun dari motornya dengan percaya diri.
"Ih ayahnya Nola pakai motor butut...."
"Ayah siapa itu? Ndak keren banget."
"Nola dan Zi masuk sini kalena tekenal di tektok," teman-teman si kembar disana mulai membicarakan tampilan ayah si kembar yang tidak stylish.
Koko melambaikan tangannya pada kedua anaknya, Kalingga pun mengajak kembarannya untuk menghampiri sang ayah. Tapi Pitaloka seperti enggan menyapa ayahnya itu, karena malu.
Seperti biasa Kalingga duduk didepan sementara Pitaloka dibelakang, Koko mengerutkan keningnya ketika dua anaknya tidak banyak bicara di jalan. Padahal biasanya sepulang sekolah, salah satu atau keduanya bercerita saat di jalan.
Sekitar lima belas menitan mereka sampai ke rumahnya, kedua anaknya turun dari motor dengan wajah cemberut.
"Kenapa Ga? Baba buat salah?" tanyanya pada Kalingga yang mencopot sepatunya diteras rumah.
Kalingga menggelengkan tidak kepalanya, "Zi capek Baba..., dikasih banyak PR sama bu Guru."
Berbeda dengan Pitaloka yang masuk ke dalam rumah dengan posisi helm dan sepatu masih terpakai, gadis berusia lima tahun itu langsung merebahkan dirinya diatas kasur kamarnya.
"Bekalnya habis nggak Zi?" tanya Devinta melihat cucu laki-lakinya masuk rumah dengan meletakkan tas di ruang tamu.
Kepala Kalingga mengangguk sambil tersenyum. "Itu tadi apa namanya Oma?
"Kue Sus," jawab Devinta.
"Bu Guru mau pesan boleh ndak? Katanya enak pas icip kue sus Zi."
"Tapi menurut Zi juga enak, Zi suka banget!" serunya memeluk neneknya.
Devinta memeluk balik cucu laki-lakinya sambil mengusap-usap punggungnya, merasa lega Kalingga sudah mulai aktif kembali. "Boleh, nah gitu dong cucu Oma udah semangat lagi makannya "
Malah kebalikkan sekarang, Pitaloka yang suka rewel, merajuk, dan marah-marah. Bocah lima tahun itu sudah seperti mengenal gaya dan gengsi, sampai membuat Koko was-was—takut menjadi kebiasaan buruk.