Tidak terasa Una dapat menyelesaikan pendidikan formal-nya dengan segala perjuangnnya, walaupun hanya mengemban sampai SMA. Ia tetap bangga dengan dirinya yang dapat mempertahankan pendidikannya.
Hari ini adalah hari kelulusan yang biasa disebut dengan wisuda. Diantara ratusan temannya beradu busana kebaya gemerlap wisuda, hanya ia yang mengenakan atasan kemeja putih lengan pendek dan bawahan jarik selendang yang dililit.
Berbeda dengan Roro yang masih mengenakan kebaya sewa dan make up artis yang disewakan oleh Wijayanto. Intinya Roro dimodali kekaishnya lah, tidak dengan Una yang hanya dimodali doa oleh Mursid.
"A Wijayanto nggak ikut?" tanya Una pada Mursid baru saja datang ke sekolahnya dengan menggunakkan atasan batik dan celana kain hitam.
Mursid menggelengkan tidak kepalanya. "Sibuk buat orderan seribu pentol buat acara sunatan Ajun besok."
"Wijayanto cuma nitipin ini buket buat Roro," sambungnya memegang buket chiki berbentuk cinta untuk Roro.
"Oh Una kira ini punya Una dari aa."
Mursid menyengir dan mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Kado aa menyusul ya."
"Iya a gapapa." balas Una tidak mempermasalahkan hal tersebut.
"Emang Roro kemana?" tanya Mursid.
"Masih foto-foto sama temen."
"Oh gitu. Ortu ade nggak dateng?"
Una menggelengkan tidak kepalanya. "Mereka sibuk nyari duit a, mana bisa dateng ke acara ginian. Katanya juga nggak penting, yang penting lulus aja."
Mursid jadi kasihan dengan Una yang dari ceritanya jurang dipedulikan oleh keluarga sendiri. Akan tetapi jika dipikir-pikir lebih kasihan dirinya sendiri sih, mengapa jadi adu nasib begini?
"Itu buket dari a Wijayanto ya?" tanya Roro datang dengan tampilan yang sangat cantik membuat Mursid terkesima.
"Iya. Cantik banget buset." jawab Mursid memberikan buket dari tangannya ke tangan Roro.
Roro menerima buketnya itu, "Lah gue emang cantik." katanya dengan memberikan cium jauh.
"Bye, gue mau foto dulu sama ortu ya na." pamit Roro melangkahkan kakinya kearah dua orangtuanya yang sudah menunggu di tempat foto.
"Aa mau nemenin aku foto nggak?" tawar Una.
"Mau. Ayo aa yang bayar," antusias Mursid menarik tangan Una untuk pergi ke tukang foto acara perpisahan. Keduanya pun foto bersama menggunakan fotografer wisuda, mereka disana malah terlihat seperti pasangan yang akan melakukan foto pre-wedding.
"Njir Una bego atau tolol yak? Mau amat pacaran sama supir angkot. Dih jijay, udah tau miskin ntar malah makin miskin."
○●○
"Tarik nafas dalem-dalem terus hembusin keluar," interupsi Windy pada Mona yang sedang mengalami pembukaan kelima di puskesmas ciledek.
Mona menarik nafas dalam-dalam sambil meremat squishy-nya lalu menghembuskan nafasnya perlahan dengan tenang. Kebetulan lahiran kali ini suaminya tidak dapat menemaninya karena berada diluar kota mengantar pesanan keset, Koko juga tidak menduga jika lahira istrinya maju dua minggu dari perkiraan bidan.
Jadi ia hanya ditemani oleh bidan karena kakak-kakak ipar-nya sibuk dengan dunia-nya masing-masing. Terlebih Sofya yang harus mengurus acara besar khitan putra pertamanya.
Windy membuka lagi bagian lubang vagina Mona menggunakkan alat medis persalinan. "Kepalanya udah keluar, tenang ya neng."
"Tarik nafas lagi," interupsinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASAR CINTA
Fanfic[ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ]Setiap senyuman dan sentuhan kecil membawa getaran, sementara di sekitar mereka, pasar tetap berdenyut dengan energi khasnya. Di tengah kesederhanaan pasar, cinta hadir tanpa disadari, mengikat hati mereka satu sama lain. akseraaaa...