Wrong Enemy

3. Green or Hazel

Hari masih gelap. Ditambah butiran-butiran salju mulai melayang sempurna di udara dan jatuh melapisi dasar permukaan Thandeus. Namun, sosok yang selama ini biasa masih meringkuk di ranjang atau sedang menyesap coklat panas di depan perapian--harus segera pergi dan menjalani hukuman nya sampai bulan Februari tiba. Lebih tepatnya hari dimana perang antar kerajaan Evander dan Calester akan berlangsung.

Kau akan ku anggap sebagai puteriku lagi jika saat perang nanti kau berhasil membawa setidaknya satu kepala anggota keluarga Evander, Abigail-ku sayang

Apapun yang terjadi, jangan lukai siapapun orang yang termasuk anggota keluarga Evander. Siapapun.

Dua kalimat itu terus mengiang sempurna menciptakan dengungan serupa suara lebah yang memenuhi isi kepala Abigail. Jika sudah begini, siapa yang harus dia turuti? Jika dia menuruti Ayah nya, maka dia sudah mengingkari janji yang ia buat sendiri bersama Elderittuo. Jika ia menuruti Ibunya, Gilgamesh tidak akan lagi menganggap Abigail sebagai puteri Calester dan Abigail tidak boleh lagi menginjakkan kaki nya di istana. Istana tempat ia lahir dan kali pertama ia bisa membuka mata nya, tidak adil bukan? Dan juga, gadis itu tidak tidur semalaman hanya karna memikirkan apa alasan Elderittuo tiba-tiba menangis, meminta maaf dan memohon agar Abigail tidak membunuh anggota Evander. Memikirkan nya saja hanya akan memaksa kepala kecil gadis itu meledak paksa. Jadi, disinilah Abigail. Berdiri di ambang gerbang dan berusaha melupakan semua nya

Ransel besar sudah tersampir pada punggung nya yang kecil, gadis berambut coklat gelap itu tidak nampak keberatan. Alih-alih dia justru melempar senyum hangat pada tiga anggota keluarganya yang berdiri beberapa meter memperhatikan. Terutama Albert, matanya kosong menatap nanar pada adiknya yang harus menjalani hukuman berat hanya karna ingin membatalkan perjodohan yang bahkan Albert rela lakukan ketimbang harus melihat adiknya tersiksa seperti itu. Tapi apa daya, semua nya sudah berlalu dan mustahil untuk menarik kembali kepercayaan Jordan.

Tidak lupa Abigail memakai mantel nya yang amat tebal sampai menutupi puncak kepalanya. Membiarkan butiran-butiran halus salju mencumbu kulit mantel itu tanpa Abigail perlu merasa kedinginan. Well, dia sangat kedinginan kalau boleh jujur. Tapi ini jauh lebih baik ketimbang ia hanya memakai gaun kerajaan seperti biasa. Bersyukur Gilgamesh masih berbaik hati dengan memberikan bekal yang lebih dari cukup untuk Abigail menjalani masa-masa hukuman nya. Di dalam ransel itu, terdapat banyak persediaan makanan juga beberapa baju untuk ia ganti sewaktu-waktu. Juga pedang panjang yang tersampir pada pinggang nya ditambah anak-anak panah yang tertata dalam satu tabung bertali pada sebelah bahunya. Sementara sang busur ia tenteng begitu saja. Tidak perlu khawatir bagi seorang Abigail yang sudah ahli dalam hal bela diri jika hanya perlu keluar istana dan mengembara selama satu setengah bulan. Waktu akan berjalan cepat

Namun bukan itu yang membuat Abigail resah. Bukan ransel serta bekal-bekal besar yang memberatkan punggungnya--melainkan sebuah jawaban. Jawaban yang harus ia pilih antara menuruti Elderittuo atau Gilgamesh. Suatu jawaban yang mungkin tidak akan sanggup ia jawab meski diberi waktu puluhan tahun. Dan satu setengah bulan, itu terlalu singkat untuknya.

"Kau siap?" Tanya Albert dengan nada tak yakin. Sebelah tangan nya bergerak menyingkirkan tumpukan salju tipis yang berada pada tudung tebal Abigail

Gadis itu hanya melempar senyum seraya mengangguk. Senyum yang orang idiot pun tau kalau senyuman itu hanyalah senyum palsu untuk menutupi perasaan nya yang terluka. Dan itu tentu saja membuat Albert merasa hati nya seperti disayat perlahan menggunakan pedang tumpul oleh psikopat yang justru akan menimbulkan rasa sakit yang lebih menyiksa. Ya, Albert sangat tersiksa melihat adiknya harus menjalani ini semua... demi dirinya