Hangat.
Itulah yang sejak lama Abigail cari. Kehangatan dari sebuah pelukan pelepas rindu yang amat ia butuhkan untuk menghalau segala resah yang menyelimuti. Meski ini terkesan dramatis dan konyol, Abigail sama sekali tidak peduli. Datang tepat waktu dan menangkap Justin sebelum pria itu nekat melompat ke dasar lautan merupakan hal yang patut Abigail syukuri setengah mati. Justin kurang ajar, Abigail tidak bisa membayangkan akan jadi apa dia jika Justin benar-benar lompat kesana, hilang ditelan air biru menyisakan luka dan derita.
Tapi sekarang, Abigail menyentuhnya. Ia menyentuh tubuh kekar yang amat ia rindukan sampai-sampai air matanya mengalir berjatuhan dengan deras. Bukan karena sedih, melainkan terlampau bahagia. Lupakan semua masalah di masa lalu, ini bukan soal apa yang membuatmu bersedih, melainkan soal apa yang akan membuatmu tersenyum lagi. Tidak ada alasan lain bagi Abigail untuk kembali tersenyum dan memiliki tujuan hidup selain suaminya sendiri, Justin Bieber Evander.
"Jangan tinggalkan aku lagi," Justin mengulum senyum yang tipis saat Abigail mengucapkan kalimat itu. Semilir angin membuat keduanya semakin kedinginan, dan agaknya setelah matahari tenggelam, salju akan kembali berjatuhan.
Justin memutar tubuhnya, membiarkan Abigail merenggangkan pelukan dan berhadapan dengannya. Pada detik pertama mereka saling bertatapan, Justin merasakan sakit. Hatinya ngilu begitu melihat kondisi Abigail yang jauh dari ekspektasinya. Bukankah Abigail seharusnya terlihat cantik setelah berbulan-bulan mengendap di Istana? Lihatlah dia yang sekarang. Pipi yang tirus, bibir kering serta bayang kantung hitam di bawah matanya. Justin menggerakkan salah satu tangannya untuk menangkup wajah wanita itu, menatapnya dengan kening berkerut juga wajah khawatir. Terlebih lagi, satu goresan tipis pada dahi Abigail membuat Justin semakin was-was.
"Are you okay?" Abigail meraih tangan Justin yang menangkup wajahnya. Kemudian ia turunkan perlahan sambil memberikan senyum simpul yang terlihat dibuat-buat. "I'm okay."
"Apa itu?" Justin hendak menyentuh luka pada kening Abigail dengan ibu jarinya, namun Abigail segera berkilah lebih dulu. Bukan apa-apa, luka sekecil apapun jika disentuh sembarangan tentu akan menimbulkan rasa sakit.
"Ini?" Abigail berfikir, mencari-cari alibi yang bisa ia jadikan jawaban. "Aku tadi menabrak pohon."
"Nice try." Pria itu terkekeh, mengundang kedua alis Abigail menjadi beradu.
"Hng?"
"Kau selalu payah dalam berbohong."
Abigail terkekeh, masih lembut memandangi dua iris hazel yang siap membuatnya meleleh menjadi kubangan sewaktu-waktu. Baru sebulan, tapi rasanya Abigail sudah tidak memandang kedua permata emas itu berabad-abad lamanya. Lega, sangat lega, seperti sesuatu yang kosong dalam dirinya kini terisi penuh kembali ketika mereka sudah saling berbagi senyuman. Astaga, apakah bahagia sesederhana ini?
"Dia benar-benar gila." Suara Narsus sukses membuat sepasang suami isteri itu nyaris terbelakak. Mereka berbalik, menatap pada dua pria tampan dengan pakaian khas prajurit elite kerajaan sedang berjalan mendekat. Narsus di depan, disusul Slaine si rambut perak yang mengekorinya.
"Senang melihat Anda baik-baik saja, Your Majesty." Narsus dan Slaine bertekuk lutut serempak. Menekuk satu lututnya dengan tangan yang bertengger sementara satu kaki lagi dilipat kebelakang. Mereka menunduk hormat, dan baru bangkit ketika Justin memerintahnya.
"Apa maksudmu mengatakan Abigail gila?" Justin bertanya tanpa menyelipkan nada tajam atau marah pada sela-sela kalimatnya.
"Dia menyer-"
"Sshhh!" Abigail menyambar separuh kalimat Slaine dengan cepat. Membuat pria itu mau tidak mau diam. Namun Jusfin tidak menerima penjelasan sepotong-sepotong begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AdventureAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97