Dini hari itu, ketika bulan purnama bersinar redup tersaput awan kelabu di langit, tiga bangsawan ini memulai perjalanan panjangnya menuju Pars. Pars bisa dikatakan cukup jauh mengingat posisi mereka sekarang masih berada di kawasan Utara. Pars negeri sebrang yang berdampingan dengan Tanah Selatan, maka dari itu, perjalanan kali ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama. Jika mereka nekat berkuda tanpa henti, mungkin mereka akan sampai di Pars lima hari ke depan. Lantas bagaimana dengan makanan-nya yang tentu akan mereka santap se-sekali? Abigail sibuk berfikir, bagaimana mungkin Justin bersikeras ingin berkuda sejauh ini sementara mereka bertiga sanggup berteleportasi dalam waktu sekedip mata.
Mungkin sekarang sudah lewat pukul dua belas. Keadaan sekitar sangat dingin, benar-benar dingin. Dua kali lebih dingin dibanding dengan bertelanjang ria di dalam lemari es. Abigail menggelemetukan gigi, menggeleng--menghalau rasa dingin yang kian menjadi. 2 tahun lalu aku juga mengalami hal seperti ini, wanita itu membatin. Jika dua tahun lalu saja, Abigail dapat melewati hari-hari beratnya, tentu sekarang ia juga bisa, kan?
"Kedinginan?" Kuda Justin menyusul, berdampingan dengan milik Abigail yang masih berpacu cepat lurus ke depan. Abigail menggeleng cepat, lantas menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat kuat. Padahal Justin bisa melihat jelas bibir isterinya yang gemetar kecil. Justin tidak suka itu. Justin benci ketika isterinya berusaha terlihat kuat sementara kenyataan berkata sebaliknya.
"Aku sudah bilang tidak mau merepotkan." Wanita itu menjawab dengan ketusnya, kemudian memacu langkah kaki kuda yang ia tunggang hingga kuda itu melaju lebih dulu meninggalkan Justin dengan kudanya di belakang. Pria berambut coklat cerah yang hari ini terlihat pucat itu terkekeh, menggeleng, lalu berusaha menyejajarkan posisi kudanya dengan milik Abigail-lagi.
"Kemarilah," Pria itu merentangkan sebelah tangan, membuat Abigail mengerutkan dahi. "Kemari," Justin mengulangi ucapannya. Ia ingin Abigail meraih tangannya lantas berpindah, berkuda bersama. Namun yang ia dapati adalah nol besar, isterinya itu justru mencebikkan bibir seolah jijik kemudian berpaling. Justin memutar mata ketika menyadari Abigail mendengus.
"Abigail... Aku serius," Abigail melirik lewat ekor matanya. Kemudian terkekeh melihat ekspresi Justin saat ini. Pria itu terlihat cemas, dengan garis wajah keras. Abigail tau berkuda berdua memang menyenangkan. Selain merasa lebih aman, berkuda berdua bisa menghantarkan kehangatan satu sama lain. Apalagi ketika keadaannya sedingin ini, rasanya akan sangat nikmat jika mereka bisa berkuda sembari berpelukan berbagi kehangatan.
Namun itu akan membuat laju kuda melambat. Sesuai dengan janji, Abigail tidak mau merepotkan.
"Ini perintahku. Jadi tidak masalah." Nada bicara Justin terdengar lebih menohok. Seolah kalimatnya merupakan titah yang tidak bisa dibantah. Entah bagaimana bisa sisi pemimpinnya muncul di saat seperti ini. Kalimat Justin seakan menyihir tubuhnya untuk patuh.
Menghela nafas, Abigail membiarkan sebelah tangan Justin mengenggam jemarinya. Membantu ia untuk melompat dari kuda yang ia tunggang menjadi satu kuda dengan Justin. Tubuh Abigail duduk sempurna dalam hitungan detik, kehangatan seketika menyengat punggungnya ketika ia merasakan tubuh Justin yang begitu dekat, amat dekat, tidak terkikis oleh jarak. "Begini kan lebih baik." Pria itu berkata puas.
"Sebenarnya yang tidak tahan dingin itu kau kan? Itu sebabnya kau memaksa."
Justin terkekeh. "Hanya ingin berada di dekatmu saja,"
Abigail membalas kalimat Justin dengan dorongan dari sikutnya menuju perut Justin. Membuat pria itu mengerang heboh padahal sakit yang ia terima tak seberapa. Mereka berdua akan terus-menerus bercanda saja kalau suara Eleanor tidak menginterupsi dari depan. Membuat baik Abigail maupun Justin terkesiap.
"Kita sudah sampai." Kuda Eleanor melambat, kemudian berhenti sepenuhnya pada detik ke-lima.
Justin menatap lurus ke depan. Begitupun Abigail. Wanita dengan mata hijau zamrud itu menautkan alis, menatap pada lahan maha luas di hadapannya. Tidak ada pohon, tidak ada bangunan. Ini hanya lapangan raksasa biasa. Dan ini bukan Pars, bahkan ini masih berada di kawasan Utara. Jadi apa maksud Eleanor dengan mengatakan bahwa mereka sudah sampai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AdventureAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97