[III] 10. Choice

422 63 32
                                    

WARNING ! JANGAN SERBU GUE SETELAH BACA CHAPTER INI.

.

.

Justin mencintai isterinya.

Itu fakta, dan semesta pun mengakui itu. Tidak ada yang sanggup mengilah cinta Justin yang amat besar pada Abigail. Pria itu bahkan sanggup menyerahkan nyawanya sendiri agar Abigail bisa hidup dan bahagia. Catat, nyawanya.

Bukan nyawa anaknya.

Bagaimanapun juga, Alena adalah hasil dari cinta antara Justin dan Abigail. Bayi berusia tujuh bulan itu merupakan bukti nyata cinta sepasang suami istri yang bersemi. Tidak pernah sedikitpun Justin berfikir akan membiarkan nyawa Alena hilang begitu saja. Tapi Justin juga tidak pernah berfikir jika Abigail akan mengalami hal mengerikan seperti ini. Memakan jantung anaknya sendiri? Itu mustahil. Abigail pun tidak akan memaafkan dirinya sendiri ketika sudah sadar nanti. Dan itu membuat kepala Justin penuh dijejali masalah-masalah yang tidak bisa ia atasi.

Istrinya atau anaknya?

Justin tidak tau. Justin menyayangi keduanya.

Dan lamunan Justin buyar saat melihat eksistensi Hemmings yang tiba-tiba duduk pada kursi yang berhadapan dengannya. Terpisahkan oleh meja bundar yang berukuran kecil dimana satu set tempat duduk itu berada beberapa meter di dekat perapian. Butiran salju masih melambai di luar sana, membuat awak Istana sibuk mencari pakaian musim dinginnya yang terselip di lemari karena sudah lama tak dipakai.

"Kau harus cepat memilih. Waktunya hanya sampai jam dua belas nanti." Ucapan Hemmings itu menarik diri Justin pada realita. Ya, Hemmings benar. Justin tidak bisa egois, ia harus memilih atau ia justru akan kehilangan keduanya. "Life is a choice, aku tau ini berat. Tapi akan lebih berat jika kau membiarkan dua orang yang kau cinta justru jauh pergi."

Hemmings berkata benar, namun yang keluar dari sela-sela bibir Justin justru adalah "Tutup mulutmu. Aku tidak butuh nasihatmu." Wajahnya tidak menampakkan penyesalan setelah berkata begitu. "Ini semua juga berawal karena kesalahanmu, kau harus tau itu. Kalau Grisel tidak kau bunuh, dia tidak akan jatuh pada Erestein, dia tidak akan menusuk Albert dengan panah. Dan Albert tidak akan dikendalikan oleh Vivian. Jadi Abigail tidak perlu repot-repot ke Pars dan menjadi bahan siksaan Gowther. See? Semua berawal dari kesalahanmu."

Hemmings tidak mengubris, pria dengan mata biru langit itu hanya mampu menekan bibirnya ke dalam satu garis. Benar, ia terlalu bodoh untuk berlancang ria dengan berbicara sok menggurui seperti itu. Semua ini tidak akan terjadi jika ia tidak membunuh Grisel hari itu, dan tidak ada sesuatu apapun yang dapat menyelamatkan keadaan. Bagaimanapun, Justin akan kehilangan salah satu orang yang berharga dalam hidupnya malam ini. Entah isterinya, atau anaknya.

"Maaf." Hemmings bergumam, menunduk sambil mengepal kedua tangan. Terjadi jeda keheningan selama beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk bangkit dan beranjak pergi, membiarkan Justin berkutat dengan fikiran untuk mendapat pilihannya sendiri. Dia hina, tidak pantas berada di dekat Justin yang agung dan suci. Betapa bodohnya aku, gumam Hemmings dalam hati.

Memang tidak semudah memetik jari untuk mengulang waktu kembali. Andai saja Hemmings diberi kesempatan untuk memutar waktu, ia berjanji tidak akan menuruti perintah Lord Jordan. Karena pada akhirnya, ia akan membuat Justin menderita. Dan penderitaan Justin adalah penderitaan Eleanor. Penderitaan Eleanor pun merupakan sakit tak terbayangkan bagi Hemmings. Singkatnya, apa yang Hemmings lakukan siang itu juga membawa dampak buruk untuk dirinya sendiri. Bahkan Eleanor masih tidak mau bersikap akrab dengannya sejak hari pernikahan mereka beberapa hari lalu. Ironis, tapi Hemmings memaklumi. Ia tidak akan memaksa Eleanor untuk memaafkannya.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang