Bab II Bagian xiii

549 64 15
                                    

"Escape"

***

Perlahan, Eleanor memisahkan kedua kelopak matanya yang tertutup rapat hingga terbuka dengan sempurna, memperlihatkan permata coklat madu cerah yang tersemat di dalamnya. Iris hazel Eleanor bergerak menelusuri sudut matanya, memerhatikan keadaan sekitar sampai mata itu menangkap wajah oval Tysa yang tengah menatapnya dengan teduh dan bersahabat. Rasa tidak enak mulai menguasai diri Eleanor. Mengingat hubungannya dengan Tysa yang jauh dari kata baik, rasanya sangat memalukan jika ternyata kini Eleanor diselamatkan oleh orang yang telah ia caci maki beberapa pekan lalu.

Eleanor menunduk, menyembunyikan wajah bersalahnya dibalik helaian rambut coklat kemerahan yang ia miliki. Gadis itu sedang kacau. Kepalanya terasa sakit bukan main. Memikirkan keadaannya, memikirkan Abigail, memikirkan orang-orang yang menunggu di Istana, memikirkan segala-galanya hingga membuat Eleanor ingin mengubur diri hidup-hidup sekarang juga. Terlebih lagi, di sebelahnya saat ini duduk seorang Tysa Varden yang belum bosan menampilkan senyuman manisnya. Hal itu membuat Eleanor semakin malu pada diri sendiri. Eleanor benar-benar menyesal telah beradu mulut dengan gadis berambut biru terang itu saat pertemuan pertama mereka di kamar Justin.

"Terimakasih," Eleanor akhirnya angkat suara dengan nada begitu lirih. Pelan nyaris tidak terdengar. Tanpa memandang Tysa sama sekali—karna ia masih belum berani menunjukkan wajah bodohnya di hadapan orang yang sudah menolongnya kali ini. Tysa semakin melebarkan senyumnya meski senyum itu tetap terlihat tipis. Lantas tangannya yang dililit gelang-gelang yang terbuat dari kerang dan mutiara khas laut itu pun bergerak menyapu helaian rambut Eleanor yang menghalangi paras cantiknya. Tysa menyembunyikan helaian rambut coklat kemerahan Eleanor di balik telinganya. Memperlihatkan sebelah pipi Eleanor yang mulus putih pucat pasi. Eleanor masih tidak berani menatap Tysa. Putri Utara itu hanya menusuk pandangannya pada kedua kakinya yang tak ber-alas sama sekali.

"Kau harus cepat pergi, Elle. Gunakan kekuatan teleportasimu untuk kembali ke Calester. Temui Albert, mintalah bantuan padanya."

Eleanor kali ini menoleh, gadis itu menggeleng dengan cepat. Menolak mentah-mentah perintah Tysa barusan. "Tidak, tidak." Eleanor menukas tegas. "Mana mungkin aku meninggalkan Abigail? Kita tidak bisa pergi dari sini begitu saja, Tysa."

Tysa menghela nafas. Sejurus kemudian gadis itu bangkit dari duduknya. Berdiri dengan sigap lantas mengeluarkan sebilah pedang dari sarungnya yang tersampir pada pinggang. Lantas Tysa kembali melempar senyum dengan sedikit menunduk untuk menjangkau wajah Eleanor yang jauh lebih rendah darinya. "Kita? Maksudmu, kau? Begini, Eleanor. Aku meminta kau pulang dan panggil Albert kesini. Aku tidak ikut denganmu," Tysa menjelaskan. "Aku akan tetap disini untuk melindungi Abigail. Well, setidaknya sampai Albert dan yang lainnya datang membantu kemari."

"Ap-apa? Kau? Melindungi Abigail sendirian? Maaf, Tysa. Tapi musuh kita kali ini sangat kuat. Dia Erestein! Dia adalah Raja sah Evander sebelum Lord Jordan Evander. Mustahil untuk mengalahkannya. Mustahil"

"Memang," Tysa mengedikkan bahu. Lantas terkekeh. "Sangat mustahil. Tapi itu lebih baik ketimbang tidak melawan sama sekali. Percayalah, aku akan melindungi Abigail dengan nyawaku."

"Tysa..."

Lalu sedetik kemudian, terdengar suara tawa Grisel yang menggelegar membuat sakit telinga. Gadis monster itu kembali. Eleanor dan Tysa menoleh dengan waspada, mereka berdua sama-sama terkejut. Dan andai saja Eleanor dalam keadaan sehat, gadis itu tentu sudah mengeluarkan banyak mantra untuk membunuh Grisel sekarang juga. Namun apa boleh buat, untuk berdiri pun rasanya Eleanor tidak sanggup. Ia tidak akan bisa berbuat banyak dengan kondisi seperti ini. Dan di saat-saat sepert inilah, Eleanor membenci dirinya sendiri. Membenci keadaan, membenci takdir, dan membenci kehidupan.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang