Extra Part 2 - Blood and Little Arquimedes

748 67 30
                                    

"Aku mendengarnya."

Gigi-gigi Abigail yang sedang aktif mengunyah potongan daging di dalam mulut sontak berhenti bekerja. Serentak pula dengan gerakan tangannya yang sedang mengiris daging dengan pisau dan garpu. Mata hijaunya membesar perlahan, menatap ke arah James dengan penuh kecurigaan. Sementara Justin, pria itu tidak memberikan respon yang berarti. Ia meneruskan aksi sarapannya tanpa peduli.

"Unm, mendengar... apa?" Abigail bertanya hati-hati. Ia menyunggingkan senyum, memandangi James yang sedang mengunyah roti coklatnya dengan bibir yang disembulkan. "Apa kau mendengar sesuatu yang buruk?"

James mengangguk mantap "Tentu saja. Sangat buruk. Papa pasti melakukan sesuatu yang buruk pada Mama,"

Merasa terpanggil, bola mata Justin yang semula lurus menatap tumpukkan roti kini teralihkan pada sosok pria kecil yang nampak menggemaskan dengan rambut berantakan.

Hening. Lalu Abigail tertawa renyah.

"Apa maksudmu, James? Kau pasti salah dengar."

"Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan?" Pria bermata coklat madu itu memiringkan kepalanya pada satu sisi.

"Kami sedang membicarakan Papa dan Mama. Aku tidak bisa tidur karena Mama terus bersuara. Sebenarnya apa yang Papa lakukan? Aku fikir Mama semalam kesakitan, dia merintih dan meminta Papa untuk berhenti." Ucapan James sukses membuat kedua orang tuanya berubah menjadi batu dalam satu detik. "Papa menyakiti Mama, kan? Aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Nanny yang menjagaku sudah tertidur di kursi. Tapi aku tidak berani keluar, aku takut mereka bangun dan memarahiku. Jadi Papa-ku yang terhormat, bisa kau jelaskan alasan mengapa kau menyakiti Mama? Rasa penasaran ini bisa membunuhku perlahan."

"Rasa penasaranmu yang bisa membunuhku, James." Justin menarik nafas gusar. Pria itu mengacak rambutnya asal. "Kau benar-benar membuat darah Mama-mu berkumpul di pipi. Lihat, pipi Mama-mu sudah berubah menjadi tomat yang baru masak."

James malah menggeleng. "Bukankah justru pipi mu, Pa? Pipimu seperti kelopak mawar. Merah sekali."

Oh, astaga. Justin benar-benar malu sekarang. Pria itu memejamkan mata, membuat bulu matanya menyapu permukaan pipi. Ia mengatur deru nafas, juga detak jantungnya yang entah mengapa bisa bekerja sangat aktif hanya karena mendengar ocehan kecil sang anak. Pria itu kembali membuka mata, dan mendapati Abigail yang jelas sedang berusaha mati-matian untuk menahan malu dengan kembali menyantap sarapannya seolah tidak terjadi apa-apa. Namun dari gerakan gemetar perempuan itu, Justin benar-benar faham semalu apa Abigail saat ini.

"Papa tidak menyakiti Mama. Kami hanya... bercanda. Cuma itu."

James terlihat tidak puas.

"Aku serius, James. Jadi, bagaimana jika sekarang kau lupakan itu dan ajarkan Mama untuk mengganti menu sarapannya dengan roti dan susu? Dia selalu saja makan makanan berat di pagi hari."

Meski masih sangat ingin bertanya, James memilih untuk menghela nafas pendek dan diam. Kembali menekuni sarapannya tanpa memikirkan apapun lagi.

w r o n g   e n e m y

Calester

Justin baru saja keluar dari kamarnya setelah membiarkan James terlelap di atas ranjang bersama Mama-nya, Abigail. Hari sudah sore, Abigail dan James banyak sekali menghabiskan waktu untuk bermain-main di Slendestein sejak pagi tadi. Justin tahu Abigail lelah, namun perempuan itu jelas berusaha untuk membuat putera satu-satunya merasa senang. Entah mengapa, tiba-tiba Justin teringat Alena. Hatinya selalu sakit seperti sedang diperas kuat tiap kali ia mengingat sepatah nama cantik itu. Alena, harus sampai kapan Justin hidup dengan rasa bersalah yang membabi-buta? Justin bertanya-tanya apa yang sedang Alena lakukan, apakah gadis kecil itu hidup bahagia? Ingin sekali rasanya Justin berbagi kebahagiaannya bersama sang puteri kecil. Justin merasa seperti seorang Ayah yang tidak adil, yang mengajak James untuk hidup bahagia sementara puterinya yang lain justru tewas di tangannya sendiri.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang