Bab II Bagian xiv

619 71 13
                                    

HAPPY 4K READERS

masih dikit padahal tapi manusia baik memang wajib bersykur._.

*

Aroma musk yang segar memang akan selalu menjadi favorit wanita berambut coklat gelap yang kini mengerjapkan matanya sebelum kedua kelopak mata yang menyimpan zamrud hijau indah di dalam sana terbuka lebar dengan sempurna. Seperti yang ia duga, sosok wajah pertama yang ia dapati tentu wajah suaminya-Justin yang tengah menampilkan ekspresi khawatir yang jelas kentara. Abigail menarik nafas dalam lantas mengalunkan nama Justin pelan, dengan suaranya yang parau dan serak ia menyebut nama Justin membuat pria itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih sigap. Sebelah tangan Justin yang kekar terangkat untuk membelai puncak kepala Abigail dengan lembut, tanpa kekasaran sama sekali ia menyelipkan jari-jarinya pada helaian rambut Abigail yang tebal dan halus.

Hati Abigail seolah teriris pedang tajam melihat tangan kanan Justin yang diperban tebal menghalangi pergerakannya. Abigail meringis, menunjukkan ekspresi prihatin sebelum akhirnya ia mengangkat sebelah tangan dengan tertatih guna menyembuhkan luka Justin menggunakan kekuatan sihirnya. Satu dari sedikit hal yang Justin tidak suka dari Abigail-gadis itu gemar sekali menyembuhkan luka orang tanpa permisi, dan parahnya lagi, Abigail tidak pernah memperhatikan kondisinya sendiri, terkadang, Abigail memang egois dalam hal ini. Dan suami manapun tentu tak menyukai hal tersebut. Desisan tajam pria itu membuat gerakan tangan Abigail terhenti. Mata Abigail mendelik pada dua iris coklat madu Justin tak terima, namun gelengan pelan dari suaminya itu membuat Abigail hanya bungkam tak bersuara tanpa protes barang sedikitpun.

"Sesekali menjadi normal, bukankah itu menyenangkan?" Justin mengerling manis. " Tanpa sihir, tanpa mantra dan yang lain." Abigail tidak tau sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Yang jelas, wanita itu sadar dengan posisi sedang berbaring nyaman di atas ranjang besarnya yang empuk bersama Justin yang duduk di sebelah ranjang menggunakan kursi kecil dari kayu mahoni pilihan yang kuat dan indah. Abigail mungkin tidak sadarkan diri selama sehari, dua hari, tiga-atau seminggu? Dan sekarang, mendengar suara Justin saja rasanya begitu menyenangkan. Seolah Abigail telah melewati ratusan hari panjang tanpa suara Justin sama sekali. Hal itu membuat darah Abigail mengalir lebih cepat dan memberikan kehangatan yang sukses menyebar ke seluruh tubuhnya. Tidak dapat diungkapkan menggunakan sepatah dua patah kata, Abigail sangat mencintai pria itu. Apapun yang ada pada dirinya.

"I'm glad to hear your voice, again."

"Do you think that you can't hear my beautiful voice again?"

"Aku hanya mengira bahwa semuanya telah berakhir di Pars kemarin,"

"Astaga, Abigail-ku, sayang-ku, kita baik-baik saja."

"Baik-baik dengan tanganmu yang patah itu? Apa yang akan warga katakan saat mengetahui Raja Utara Thandeus mengalami patah lengan dan tidak diobati dengan mantra sihir?"

"Aku bisa menyembuhkan luka ini kurang dari satu detik jika ingin. Aku hanya ingin menjadi normal."

"Oh, begitu. Menjadi normal dengan menyakiti dirimu sendiri."

"Ayolah Abigail aku baik-baik saja,"

"Demi Thandeus, Justin itu patah tulang!"

"Bisakah kau perhatikan keadaanmu lebih dulu? Aku tidak mengerti mengapa mendebatku adalah kegiatan favorit untukmu."

"Keadaanku? Seratus persen baik-baik saja karna aku yakin Elise atau Heksa menyembuhkanku."

Abigail berbicara dengan ketus, wanita itu memandang Justin dengan defensive membuat Justin tak mampu menahan senyum tipis yang terulas pada bibirnya. Bahkan, di saat apapun Justin selalu mengagumi paras Abigail yang selalu mempesona setiap detiknya.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang