Wrong Enemy

Bab II Bagian vi

Raine meniup helaian rambut nya yang menjuntai menutupi separuh wajah. Gadis itu menggerutu, kemudian berjalan mendekati kusen jendela ketika pintu kamar nya terbuka lebar. Hentakan pintu yang dibuka kakak nya menimbulkan suara tak enak didengar. Pinggiran penyangga kayu pun ikut bergetar seperti nafas Hemmings yang terengah-engah. Pria itu membungkuk, menjadikan knop pintu sebagai tumpuan nya lantas ia menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan paru nya. Raine mengernyit, lalu gadis berambut pirang itu akhirnya berjalan mendekat.

"Ada apa?"

Raine bertanya dengan nada sedikit khawatir. Hemmings tidak pernah bertindak se-panik ini, dia adalah tipe pria yang tenang dalam menghadapi masalah apapun. Dan kali ini, sikap tergesa-gesa yang ditujukkan Hemmings patut Raine cemaskan.

"Justin…"

Hemmings kembali memompa pasokan udara untuk memenuhi paru-parunya. Dan begitu mendengar nama Justin, Raine mendadak tegang. Wajah gadis bermata biru itu mengeras lantas tanpa sadar ia bergerak cepat menangkup kedua pipi Hemmings agar kembali melanjutkan ucapan nya. "Ada apa dengan Justin?!" Dan nada khawatir berlebih tidak sanggup disembunyi-sembunyikan lagi oleh putri timur ini. Raine meringis, dan kalimat selanjutnya yang Hemmings ucapkan membuat kesadaran nya nyaris hilang.

"Tertusuk belati beracun orang Lucitania."

***

Abigail menggerakan tangan nya yang sedang menggenggam obor menjadi lebih condong ke depan. Setelah itu, ia kembali menuruni anak tangga yang terbuat dari batu kuno lembab menuju ke bawah tanah yang gelap nya bukan main. Rasa kesal sudah mencokol di dalam dada nya. Dan wanita beranak satu itu tidak berhenti memaki dirinya sendiri sepanjang perjalanan panjang menuju sebuah tempat di bawah tanah Istana Calester. Penjara bawah tanah.

Sampai.

Abigail menghentikan langkah begitu sampai di hadapan sebuah jeruji besi tajam yang menyimpan sosok gadis berantakan di dalamnya. Grisela. Gadis setahun lalu yang Abigail ingat betul tengah mengacungkan pedang nya ke arah Justin pada saat dimana mereka masih menjabat gelar sebagai pengembara yang gagal menghentikan sebuah perang. Abigail terlihat begitu murka. Giginya bergemeletuk hebat dan dengan kasar gadis itu melempar obor yang ia genggam ke atas batu yang dipijak. Api dari obor itu belum mati, namun cahaya semakin minim dan seketika ruang penjara bawah tanah disini semakin terlihat gelap dan mencekam. Abigail mengepalkan tangan nya, lalu ia menghantam jeruji besi berduri di hadapan nya dengan kasar hingga menciptakan suara aduan besi yang tidak merdu tanpa memperdulikan jemarinya yang mulai terluka.

"Apa yang kau lakukan pada suamiku?!" Abigail berteriak marah. Suaranya memendam kebencian dan kekecewaan yang jelas kentara. Sedetik kemudian, bahu Abigail terguncang. Gadis itu terisak, lalu ia menunduk lantas mengulang pertanyaan yang sama sambil menjerit histeris.

Yang Abigail dapat sebagai respon justru tawa Grisel yang nyaris serupa setan. Gadis itu awalnya takut dengan menggigit ujung-ujung kukunya sendiri hingga patah tidak rata. Namun kemudian ia tertawa sambil mendangak layaknya orang gila. Dan tawa Grisel sukses membuat Abigail luar biasa murka.

"KENAPA KAU MELAKUKAN NYA, JALANG?!" Sebutan setahun lalu yang juga Grisel ucapkan untuknya. Sejurus kemudian, jeruji besi itu berubah menjadi debu emas berterbangan dan dengan mudahnya Abigail melangkah masuk mendekat pada Grisel yang tengah duduk meringkuk di sudut ruangan. Abigail menampar gadis itu, membuat tawa nya terhenti. Dan beberapa detik kemudian, Grisel menangis. Yang awalnya hanya berupa isakan, berubah menjadi tangis yang kencang lalu jeritan histeris. Abigail menyisir asal rambutnya sendiri frustasi. Lalu gadis itu ikut duduk beberapa meter di sisi Grisel. Abigail menunduk, menyembunyikan kepalanya pada kedua lututnya sambil memaki berulang-ulang. Isak tangisnya kembali terdengar meski jeritan Grisel jauh lebih keras.