Epilog

828 80 33
                                    

Teh hijau rasa mint adalah satu-satunya minuman hangat yang menjadi favorit seorang Albert Hilden Calester sejak ia masih berusia dini. Pria dengan mata sehijau rumput di musim panas itu tidak pernah bisa menolak tawaran secangkir teh mint yang gemulai mengepulkan asap dengan aroma khas mengelitik hidung meski penyuguhnya adalah orang tidak waras sekalipun. Terlebih lagi sekarang, yang menyajikan teh kesukaannya kali ini adalah isterinya sendiri. Orang yang sangat dia cintai. Mungkin ini yang dinamakan surganya Albert. Private Paradise. elihat dua hal yang paling ia cintai di dunia ini secara bersamaan, ah, apalagi yang lebih membahagiakan dari ini? Bahkan Albert sendiri lupa bagaimana caranya untuk berhenti tersenyum.

Semilir angin senja seketika menerobos masuk melalui celah ventilasi yang bersih dari debu. Rambut perak milik Priskila yang ditata rapi dengan kepangan-kepangan rumit khas puteri kerajaan melambai lembut mengikuti arah sepoi angin berhembus. Melihat rambut indah yang bergerak-gerak kecil tertiup angin--sejenak, meski Albert tidak berniat untuk mengingat, tetap saja ada setitik rasa sakit yang menggerogoti paru-parunya. Mungkin ini berlebihan. Tapi pada kenyataannya, nyaris empat tahun Albert tak lagi berjumpa dengan gadis itu. Gadis bermata hijau yang selalu menggerutu ketika angin sepoi membuat rambutnya berantakan,  meskipun pada akhirnya ia tidak pernah berniat untuk merapikan rambutnya kembali. Albert rindu bibir kecilnya yang selalu mengumpat dalam setiap kekurangan apapun. Albert rindu tatapan matanya yang bisa berubah-ubah di setiap sitkon yang berbeda. Albert rindu aroma lavender yang selalu menguak dari tubuhnya.

Albert rindu semua yang ada pada diri Abigail.

"Albert,"

Suara Priskila membuat Albert menarik nafas. Pria itu menegakkan tubuhnya. Menarik senyuman pendek sebelum menarik gagang cangkir dan langsung menyesap teh dari dalam sana. Seharusnya nikmat, kan? tapi kali ini, Albert justru merasa kesulitan untuk bernafas. Mengingat mendiang sosok Abigail yang begitu ia cintai hanya mencekiknya hidup-hidup secara tidak langsung.

"Kau melamun lagi," Priskila menghela nafas. Gadis itu membenamkan bibirnya dalam satu garis lurus yang keras, kemudian mengenggam sebelah tangan Albert dengan erat. Ia menatap manik mata suaminya yang selalu indah di setiap saat.

Dulu, mata hijau Albert bersinar penuh arti, penuh kebahagiaan, penuh harapan, penuh tujuan. Sekarang, mata itu terlihat hampa. Kosong tak terisi. Seolah sebagian besar dalam dirinya telah sirna terbawa arus gelombang laut yang dahsyat. Tapi satu hal yang Priskila ketahui, satu hal yang membuat Priskila masih tetap tersenyum ketika melihat sepasang mata hijau itu, karena ia masih bisa melihat pantulan bayangan dirinya sendiri dalam bola mata itu. Albert masih memiliki secercah keinginan untuk hidup dalam pancaran matanya. Dan itu hanya untuknya. Priskila yakin itu. "Aku tidak suka. Ketika kau bersikap normal selama beberapa hari, kemudian tiba-tiba merenung dan mengurung diri. Kadang, kau bahkan tak mengharapkan kehadiranku. Ketika kau benar-benar butuh waktu untuk sendiri, kau malah tidak ingin aku berada di sampingmu ketika aku justru ingin sekali menghiburmu. Katakan, Albert. Apa yang bisa ku lakukan untuk membuatmu tersenyum lagi tanpa harus mendapat siksa batin seperti ini?"

Albert menunduk. Pria itu menggigit bibir bawahnya pelan. Ya, Priskila benar. Dia sudah kelewat jahat karena telah membuat isterinya merasa diacuhkan selama tiga tahun belakangan. Tapi mau bagaimana, Albert sendiri tidak bisa. Albert tidak akan mau Priskila melihat dirinya yang rapuh dan terpuruk. Albert tidak akan mau Priskila melihat air mata mengalir di pipinya ketika ia sedang mengurung diri hanya untuk memikirkan sang adik, Albert tidak mau. Albert tau itu hanya akan menyakiti Priskila, juga tambah menyakiti diri sendiri.

"Maafkan aku," pria itu menyapu kasar permukaan wajahnya lantas bersandar. Matanya menatap lurus ke langit-langit yang didominasi warna putih gading dengan beberapa ukiran kecil di bagian pinggir. Ia berandai-andai, tanpa tahu apa yang sedang ia andai-kan.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang