Bab II Bagian xv

684 70 18
                                    

Revival






Indah, bulan menampakkan diri separuh, menggantung sempurna di langit hitam yang gemerlap akan milyaran bintang bertaburan. Bintang-bintang yang selalu menghiasi langit, membentuk pola-pola indah tak beraturan. Langit bersih tak tersaput awan, dingin udara malam menusuk tulang seorang gadis yang tengah duduk mencakung pada hamparan rumput di belakang istana. Kepalanya mendongak, rambut coklat menyala kemerahan itu terhuyung-huyung, menyapu sebagian wajahnya sementara yang lain menari dengan nikmat bersama udara. Ada satu bintang yang begitu bersinar malam ini. Sangat bersinar. Seolah ia adalah induk dari bintang-bintang kecil lain yang berserakan dimana-mana. Bintang itu sendirian, sendiri dalam pancaran cahaya indah yang menyejukkan mata. Hingga gadis berambut coklat itu mengingat mata seseorang, mata biru gelap milik penyelamatnya, pelindungnya.

Tysa,

Tysa Varden.

Sesekali ia berfikir, mengapa hidup ini tidak adil? Mengapa Tuhan mengambil yang baik dan membiarkan yang buruk? Seolah orang-orang baik diuji kesabarannya untuk tetap menjadi baik. Tapi apa semua bisa melewati ujian itu? Tentu tidak. Sebagian orang baik yang lelah akan cobaan tentu berfikir, apa salahnya menjadi jahat? Toh, langit dan seisi bumi seperti membantu tindakan-tindakan kejahatan. Seolah tanah berpihak pada kejahatan, membiarkan yang baik berjuang seorang diri.

Berfikir apa kau, Eleanor.

Ibu dan Ayahmu tidak pernah mengajarkan bagaimana cara protes terhadap Tuhan, terhadap alam dan takdir. Tidak pernah. Lantas mengapa ia terus saja menyalahi garis cerita ini? Mengapa ia terus mengutuk Tuhan yang telah mengambil Tysa pergi kesana? Dan, mengapa Eleanor terpukul seolah Tysa adalah teman hidupnya? Bahkan Eleanor tidak pernah akrab dengan gadis itu. Bibir merah mudanya yang tipis selalu mencebik jijik setiap melihat Tysa sedang berkipas-kipas, umpatan-umpatan kecil selalu dilontarkan tiap kali Tysa melakukan suatu hal, layaknya pembantu yang selalu membenci majikannya yang galak dan tukang perintah.

Tapi nyawa, adalah objek yang paling berharga bagi Eleanor. Ia tidak pernah membunuh orang selain Ayahnya pada tragedi bersejarah Thandeus setahun silam, tidak pernah merasakan kehilangan selain Jessica. Dan poin utamanya adalah, Eleanor merasa kematian Tysa disebabkan oleh dirinya. Oleh ia yang dengan bodoh meninggalkan Tysa lemah begitu saja sementara ada Grisel kuat yang siap memangsa. Andai, andai saja ia membawa Tysa pergi saat itu, mungkin mereka sedang bercengkrama sekarang. Mencoba memperbaiki hubungan menjadi lebih baik lagi, mungkin Tysa bisa menjadi sahabat Eleanor?

Menjadi salah satu gadis yang membantu mengangkat ekor panjang gaun Eleanor ketika menikah nanti?

Itu kalau Tysa masih hidup. Dan lagi, fakta membalikkan semua andai-an itu.

"Cukup."

Suara bariton itu menyela, suara merdu yang mengalun memecah keheningan sejak beberapa jam sebelumnya. Membuat suara jangkrik-jangkrik yang tengah mencicit seakan lenyap, membuat udara seakan berhenti bergerak membawa rambut Eleanor berterbangan.

"Cukup untuk tidak bicara sama sekali mu itu, Eleanor. Rasanya kurang menyenangkan jika aku tidak mendengar suaramu sama sekali bahkan sejak aku pertama datang. Kau membisu, kau menutup dirimu sementara dua minggu lagi kau dan aku akan menjadi kita. Tidak ada yang kembali, dia tidak akan kembali meski kau pergi ke langit dan protes pada Tuhan. Dia pergi untuk selamanya,"

Lagi-lagi Eleanor tidak menghiraukan. Menjawab? Mustahil. Bahkan gadis itu tidak menoleh, melirikpun tidak. Matanya masih lurus ke atas, menusuk pandangan pada bintang terang itu yang membuat perasaannya membaik. Mungkin Eleanor sudah lupa bagaimana bunyi suaranya. Gadis itu tutup mulut, bungkam setelah melihat Albert memapah jasad Tysa yang benar-benar mengenaskan. Ia hanya diam ketika jasad itu dikembalikan ke Ecbatana, ia tidak mampu mengalunkan suaranya. Tenggorokannya tercekat, seakan-akan ia dicekik kuat hingga bernafaspun begitu sulit.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang