Bab II Bagian xvii

541 72 10
                                    

Jalan setapak itu mulai memudar ditumbuhi rumput-rumput liar. Pohon menjulang tinggi di sekeliling, terlihat tua dan kokoh, dengan bentuk masing-masing yang akarnya besar-besar menyembul dari dalam tanah basah. Lumpur-lumpur berceceran ketika air hujan yang deras mencumbunya, membuat lumpur itu terciprat tiap kali sepatu boot Justin menapak disana, meninggalkan jejak sepanjang alas kaki tersebut hingga berkerak. Angin berhembus kuat, badai disini jelas lebih dahsyat, gemuruh petir bersahut-sahutan, membuat silau mata dalam sekejap. Hewan-hewan hutan seperti kijang dan harimau tak menampakkan diri, hutan ini terlihat begitu sepi tak berpenghuni. Dingin menguasai, daun-daun pohon bergoyang lemah terhempas angin, menciptakan suara gesekan antar daun di tengah kesunyian yang mendominasi.

Justin tetap berjalan dengan langkah yang mantap, melewati akar-akar pohon dan lumpur penghisap, sungai besar atau lubang yang dalam, Justin melewati itu semua dengan mudah tanpa ekspresi. Pria itu dalam keadaan basah kuyub, rambut coklat cerahnya menutupi kening yang putih pucat pasi, uap-uap putih menyembul dari bibirnya yang sedikit terbuka akibat kedinginan. Emosi nampak membara dalam dirinya, seolah terdapat api yang menari pada punggung kekarnya. Justin bukan marah karna Erestein telah membunuh Tysa, bukan juga karna ia telah merebut Albert yang bernotabene sebagai kakak iparnya. Tapi satu hal yang membuat Justin ingin segera menghancurkan kakek tua itu, adalah ketika Justin melihat betapa rapuhnya Abigail.

Sesak,

Rasanya sakit melihat air mata mengalir dari pelupuk wanita yang kau cintai. Bahkan Justin merasakan dunianya nyaris berputar ketika melihat Abigail rubuh saat proses pemakaman Albert. Dan parahnya, disana ia tidak menghampiri Abigail. Ia tidak mendekap atau sekedar menenangkan dengan ribuan kalimat manis yang biasa dilontarkan. Justin tidak mengusap punggung Abigail, tidak meletakkan ibu jarinya untuk menghapus air mata gadis berambut coklat gelap itu. Justin berdiri jauh di belakang, memandang dengan pandangan tajam pada istrinya yang tak kuasa berdiri sampai Slaine dengan sigap menangkap tubuh lemas wanita itu.

Tanpa disadari Justin, Eleanor memperhatikannya. Eleanor memandangi Justin, melihat kemana arah mata pria itu tertuju, dan hanya Abigail-lah titik fokusnya. Justin menunjukkan kasih sayangnya lewat pandangan, bukan tindakan. Sampai akhirnya, Eleanor menangkap sosok Justin yang sedang menunggangi kuda keluar dari gerbang istana di tengah-tengah kabut pagi yang menyelimuti. Di bawah deras hujan dan angin badai, pria itu menembus jalan bersama kuda putih kebanggaannya. Dan kini, Justin masih tidak tau jika orang-orang istana sedang menuju kemari untuk membawanya pulang. Semua penerus Thandeus akan datang. Abigail, Eleanor, Petra, Priskila, Pedro, Raine, Hemmings, dan prajurit-prajurit kerajaan lain juga turun dalam misi penyelamatan Justin kali ini.

Bukannya mereka tidak sanggup melawan, namun mengingat Erestein telah mengumpulkan kekuatan selama tiga hari berturut-turut, rasanya akan sulit untuk mengalahkan kakek tua itu. Hingga Eleanor memutuskan untuk merubah misi utama mereka dari membunuh Erestein menjadi membawa pulang Justin. Dengan keadaan selamat. Ditambah lagi, ilmu sihir Abigail sedang berada dalam masa-masa primanya, Eleanor harap mereka berhasil. Jika saja ada Albert disini, tentu kekuatan mereka akan bertambah besar, Albert sangat berpengaruh. Namun, ia telah pergi. Meninggalkan Calester, meninggalkan Priskila, meninggalkan Thandeus, meninggalkan semua. Untuk selama-lamanya. Benar-benar ironis

Justin mendongak, membiarkan tetesan keras air hujan menampar permukaan wajahnya. Mata pria itu menyipit, tudung yang ia kenakan jatuh menuju tanah basah berlumpur. Justin menatap bangunan kastil tua itu, yang dikelilingi kabut ungu pekat tak kasat mata. Bangunan besar, kokoh, dililit banyak kawat-kawat berduri. Lumut-lumut merambat pada dinding-dinding, bau tidak sedap tercium dari dalam. Pria itupun berjalan masuk, api berkobar membentuk dua jalur yang berada di sisi pria itu. Api pelindung, tidak akan ada anak panah dadakan yang bisa menembus pagar api milik Justin. Pria itu bisa melangkah tanpa khawatir. Lantas Justin mengeluarkan pedang panjangnya, membuat jubah yang ia kenakan berkibar-kibar bersama dengan suara petir yang menggelegar.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang