"Siapa kau?" spontan sepatah pertanyaan itu terlontar melalui sela-sela bibir Alex setelah beberapa menit berlalu dengan perasaan aneh yang menekan dadanya hingga sesak. Membuatnya ingin meledak-ledak oleh campuran emosi yang berkecamuk membuat Alex tak kuasa untuk tidak bertanya. Alex sudah pernah melihat wanita itu, bahkan ia sempat menyelamatkannya dari gangguan Gowther yang mungkin sudah merubah Abigail menjadi vampire kalau saja Alex tidak datang. Namun begitu, siapa yang dimaksud Alex bukan hanya terdengar seperti siapa namamu? Melainkan lebih seperti siapa kau sebenarnya di dalam hidupku? Dan pertanyaan tersebut, berhasil memeras hati Abigail kuat-kuat. Membuatnya kehilangan suara, hingga tak mampu berkata apa-apa.
"Justru kau yang siapa." Justin melempar pertanyaan dari Alex, dengan suaranya yang datar dan tatapan tajam. Sama seperti yang lain, Justin-pun sebenarnya masih kurang percaya dengan sosok yang berada di hadapannya sekarang. Justin merupakan saksi hidup yang melihat bagaimana Albert menghembuskan nafas terakhirnya di taman Calester dengan bersimbah darah di sekujur dada. Justin juga melihat ketika jasad itu dimandikan, dimasukkan ke dalam peti sampai dikebumikan. Justin melihat jelas. Dan siapapun tau bahwa makhluk yang telah mati terkurung dibalik peti tidak akan bisa hidup kembali. Ada dua kemungkinan. Hanya ada dua. Pertama, orang di hadapan Justin memang bukan Albert, mungkin hanya persis rupanya. Kedua, orang yang pada saat itu dikebumikan-lah yang bukan Albert. Tapi siapa?
"Alex. Itu namaku."
"Tidak." Justin menyembur dengan kasar. Masih datar dengan tatapan setajam katana. "Kau bukan Alex."
"Hentikan, Justin." Vivian menyela dengan gusar. Wanita itu tidak segan-segan membalas tatapan Justin tak kalah sangar. Bahkan Vivian terlihat seperti ia sanggup menelan Justin hidup-hidup lewat satu sorotan saja. Wanita itu mengatup bibirnya rapat-rapat, membuat tulang pipinya lebih menonjol menekankan bahwa ia adalah wanita yang kuat. Bukan wanita lemah lembut yang selalu bersembunyi di balik tembok Istana dengan dua batang jarum dan puluhan gulung kain wol.
"Kau yang harusnya berhenti dengan semua kebohongan ini," Pria itu lebih menajamkan pandangan. "Albert kau harus tau bahwa wanita ini adalah penipu!"
"Diam!" Alex berseru kesal. Membentak Justin hingga wajahnya memerah pada detik pertama. Priskila dan Abigail tercekat, mereka berdua memandangi Alex tak percaya, dengan rasa sesak yang menyelubungi dada. Dia bukan Albert, bukan. Albert tidak akan membentak kakak iparnya sendiri. "Aku-bukan-Albert." Oktafnya turun mendadak. "Aku Alex, dan jangan sekali-kali kau berbicara buruk tentang Vivian atau aku akan membuatmu menyesal, tuan."
Alih-alih membalas kalimat Alex dengan geraman atau celotehan kasar, Justin justru terkekeh. Kecil nyaris tak terdengar. Namun Alex tak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa kekehan Justin merupakan bentuk pe-remeh-an. "Kau yang akan menyesal, Albert. Kau akan menyesal karna sudah percaya dengan pembohong itu."
"Justin..." Wanita bermata hijau itu menarik lembut kedua bahu suaminya dari belakang dengan wajah dipenuhi kecemasan. Justin si ceroboh, mereka datang kesini untuk bekerja sama, bukannya mempersulit masalah. Pria itu benar-benar idiot. Bagaimana jika Vivian semakin membencinya dan tak sudi bekerjasama se-ujung kuku pun?
"Maafkan kami. Lady Pars." Tiba-tiba Eleanor buka suara. Gadis dengan rambut coklat kemerahan itu membungkuk hormat dengan sebelah tangan yang menghujam dada. Terlihat seperti prajurit yang tengah memberi penghormatan kepada Sang Raja. "Maafkan kakak-ku, dengan segala kuasamu." Eleanor menyambung tanpa mengangkat tubuhnya. Melihat itu membuat Justin geram. Pria itu baru saja hendak memaki Eleanor atas sikapnya yang terlalu merendahkan diri sendiri kalau saja Abigail tidak menahannya. Wanita itu melingkarkan kedua tangannya pada sebelah tangan Justin, kemudian ia dekap erat-erat, tak setuju jika Justin harus mempersulit keadaan. Justin diam, berusaha mengontrol emosi dan menjaga kondisi agar tetap berada di jalur benang merah. Pria itu hanya bisa menghela nafasnya panjang, mengeluarkan beban berat dari hembusan nafasnya yang kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AdventureAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97