Wanita itu masih memandang lurus pada pria yang kini nampak menunjukkan guratan wajah penuh penyesalan di hadapannya. Pria itu menunduk, menatap lemas pada jemarinya yang ia pagutkan satu sama lain sementara sikunya bertengger pada tempurung lutut. Hening cukup panjang, sampai wanita itupun memutuskan untuk menarik tubuhnya untuk bersender pada kepala sofa sembari menghela nafas asal. Matanya tak lepas dari pria itu.
"Jadi kau sudah mengerti dimana letak kesalahanmu, hm--Alex?"
Alex. Ya. Pria dengan rambut coklat gelap itu adalah Alex. Pagi ini, ia menerima sesi sidang yang jujur saja membuatnya takut dan gugup. Alex takut Vivian akan marah padanya. Alex takut jika, Vivian akan membencinya dan tidak ingin lagi bertemu dengannya.
Pria bermata hijau zamrud itu meneguk ludah, lantas mengangguk terpatah-patah. "Maafkan aku, Vivian." kemudian ia mencoba mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap Vivian yang ternyata masih memandanginya tegas. Alex membenamkan bibirnya dalam satu garis keras. Melihat wajah Vivian yang tak kunjung melunak, ia kembali menunduk.
"Kau tidak boleh berbicara pada orang asing. Tapi kau melakukannya,"
Alex mengangguk lemah. Ia mengakui kesalahannya. "Tapi aku benar-benar harus melakukannya," ia menggigit pipi bagian dalamnya sendiri. Menyesal telah berkata begitu, takut-takut Vivian justru semakin kesal. Astaga, entah mengapa Alex tidak bisa memberikan pembelaan ketika memorinya mengingat dua mata indah berlensa hijau semalam. Alex merasa... begitu terikat.
"Kenapa kau harus melakukannya?"
"Karna," agaknya ia kebingungan mencari jawaban yang logis. "Karna aku hanya merasa harus melakukannya."
"Meskipun itu mengkhianati kepercayaanku yang telah ku taruh padamu?"
Alex semakin merasa bersalah. Ia benci ini. Hanya Vivian lah satu-satunya orang yang ia punya di dunia. Lantas, jika Vivian pergi meninggalkannya--Alex harus kemana? Bahkan Alex tidak ingat sesuatu apapun selain senyum manis yang diberikan Vivian padanya.
"Aku tau aku salah, Vivi. Tapi konyol ketika seorang pria membiarkan pria lain menyakiti seorang gadis di hadapannya."
"Belajar darimana kau soal pria yang suka menyelamatkan gadis? Aku tidak pernah mengajarimu menjadi pahlawan. Aku hanya mengajarimu untuk mencintaiku."
"Aku mencintaimu, Vivian. Kau tau itu."
"Jangan ulangi itu lagi."
Dahi Alex berlipat. "Kau memaafkanku?"
"Aku tidak bisa marah pada pria yang aku cintai. Sini, kemarilah. Peluk aku."
***
Dengan senang hati Justin menyesap teh mint panas yang masih mengepulkan asap dari Hemmings yang kini duduk berhadapan dengannya--dipisahkan oleh meja jati bundar yang terletak di sisi Istana. Kini, mereka sedang menikmati pagi yang indah dengan berbagi secangkir teh. Justin belum ada niat untuk menemui Abigail, ia ingin membiarkan wanita itu menenangkan diri terlebih dahulu dengan bercengkrama bersama puterinya, Alena. Sebelah kaki Justin di pangku pada paha, bibirnya yang tipis menyesap teh itu sementara matanya lurus ke depan, memandangi pohon-pohon maple yang daunnya bergerak tertiup sepoi angin pagi.
Sedangkan fikirannya, masih terpusat pada satu masalah yang sama. Sama seperti semalam. Perihal vampire terakhir yang secara tiba-tiba datang ke permukaan, menampakkan diri di Thandeus. Dan parahnya, vampire itu jatuh cinta pada isterinya. Ini bukan permasalahan sepele. Vampire atau Howzer adalah klan terkuat. Justin tentu akan kalah telak jika ia berniat membunuh Gowther demi menjaga isterinya. Tapi membiarkan Gowther merebut Abigail? Justin tidak segila itu. Justin hanya perlu bekerja sama dengan Vivian, penyihir paling kuat di dunia. Dengan begitu, mungkin mereka bisa mengalahkan Gowther mengingat sihir Vivian yang masih menjadi yang terkuat sepanjang eksistensi dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AventurăAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97