[III] 16. Masked Man

519 63 28
                                    

Abigail sedang bersenandung kecil dan membiarkan tubuh polosnya tersiram tetesan hangat air yang mengalir dari lubang shower. Belum ada teknologi untuk mengatur suhu air pada saat itu. Tapi sihir lebih hebat dari apapun. Gadis itu menyapu rata helaian rambut coklat gelapnya yang terasa lepek menggunakan cairan shampo ber-aroma lavender yang khas. Ruangan mandi ini dipenuhi kepulan asap hangat, Abigail hanya memejamkan mata sambil memijat-mijat kepalanya yang penuh busa.

Gadis itu nyaris saja terjerembab ke belakang ketika pintu secara tiba-tiba terbuka. Abigail kontan menutup dadanya menggunakan kedua tangan, lantas mengeluarkan sumpah serapah pada Justin yang kini mengerling di pintu masuk dengan seringaian lebar. "Tutup lagi! Mau apa kau kesini?!" Suara Abigail beradu dengan rintikan air yang deras. Busa-busa shampo-nya mulai merambat turun menuju sekitar dahi.

"Jangan galak-galak, dong." Justin justru melebarkan seringainya yang lebih mirip seperti vampire kelaparan. "Aku mau izin mengambil pakaian dalam ke Calester. Karena kau terlalu buru-buru aku jadi lupa, tahu!"

Abigail menghela nafas. Lantas segera mengusir Justin menggunakan gerakan tangannya yang diktaktor. "Sudah sana cepat! Kau hanya ku beri waktu dua puluh menit!"

"Aku bisa lebih cepat dari itu, baby." Pria dengan iris coklat madu itu mengedipkan matanya sebelah sebelum menutup rapat pintu kamar mandi. Meninggalkan Abigail yang kini mendesah jengah lantas segera membilas rambutnya yang masih dipenuhi oleh busa. Gadis itu membiarkan hangatnya air membasahi kepalanya secara menyeluruh. Menghantarkan sensasi berupa kenikmatan yang sukar ia dapat jika berada di Istana. Abigail mengatur nafasnya pelan-pelan, berusaha menghargai setiap detik yang ia lewati hari ini.

Kemudian pintu terbuka perlahan. Memang Abigail tidak ada niatan untuk menguncinya. Gadis itu tidak se-tersentak tadi, namun tetap saja Abigail merasa terkejut. Abigail lagi-lagi berteriak marah, "MAU APA LAGI?!"

Namun pria itu justru diam tidak menjawab. Keanehan mulai Abigail rasakan ketika ia tidak melihat profil wajah Justin disana. Bahkan dari aromanya, Abigail tahu pria itu bukan Justin. Pria itu mengenakan topeng serta jaket yang membalut seluruh tubuhnya hingga Abigail tidak tahu bentuk tubuh sosok asing itu seperti apa. Tubuh Abigail mundur pelan-pelan dengan ketakutan yang merajai perasaannya. Mata Abigail menatap lurus pada sosok tersebut yang kian jalan mendekat dengan auranya yang serupa psikopat. Abigail menggumamkan nama Justin, berharap pria itu datang kembali kesini dan segera menyelamatkannya.

Namun Abigail tahu semua itu telah terlambat ketika tangan besar pria asing itu menarik kasar rambut Abigail, membuat Abigail menjerit dan mendangak paksa. Abigail meronta dengan tubuh polos tanpa sehelai kain pun yang melapisi, Abigail berteriak, menjerit, berharap seseorang akan datang, berharap Slaine atau Taylor akan menghajar habis pria asing ini. Namun itu tidak berhasil, yang ia rasakan justru rasa pening bukan main ketika keningnya dihantamkan pada dinding kamar mandi yang berlapiskan keramik mengkilat dengan motif benda-benda laut. Abigail mendesah kesakitan, tangannya tak lagi berusaha melepaskan jambakan yang masih terikat pada helaian rambutnya, kini tangan Abigail lebih sibuk menyeka cairan merah kental yang mengalir pada ujung pelipisnya.

Gadis itu menoleh, menatap pada wajah tersebut yang sepenuhnya tertutup oleh topeng. Di tengah-tengah kesadaran yang mulai memudar, Abigail bertanya, "Siapa kau?"

Pria itu tidak menjawabnya. Alih-alih menjawab, pria itu justru mencekik kuat leher Abigail. Gadis itu meronta minta dilepas dengan nafas yang tercekat. Perlahan, Abigail tidak merasakan tubuhnya menapak. Tubuh gadis itu terangkat hanya dalam satu buah cekikan yang rasanya benar-benar mematikan. Abigail terbatuk, memohon agar dilepaskan, namun pria itu tidak mengubrisnya barang sedikitpun.

Ia melempar asal tubuh Abigail pada sudut kamar mandi. Darah Abigail mengalir bersama aliran air yang belum sempat dimatikan. Abigail mengerang kesakitan, gadis itu menyentuh pelipisnya yang perih ketika sang pria asing duduk berjongkok di hadapannya. Pria itu membelai lembut dagu Abigail, jemarinya bermain-main pada lekukan indah wajah Puteri Selatan itu. Kemudian, pria bertopeng itu mencengkram kasar kedua pipi Abigail menggunakan satu tangannya. Membuat kepala Abigail terpaksa bergerak kemana arah tangan pria itu tertuju. Abigail benar-benar nyaris pingsan. Kepalanya terasa sakit dan pusing bukan kepalang.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang