Langkah kaki mereka berdua yang tadinya besar-besar bak sedang lomba marathon kini mulai melambat laun sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Sosok gadis berambut coklat dengan mata yang hampir sewarna dengan helaian rambut itu terlihat sedang menangis tersedu bersama seorang pria yang terkapar di sisinya dengan kepala yang berlumuran darah entah apa sebabnya. Abigail menutup mulutnya yang sempat terbuka secara reflek akibat rasa kejut yang meluap. Gadis itu memilih untuk diam berdiri saja membiarkan Justin kembali berlari untuk mendekat kemudian berjongkok dan memastikan kondisi pria asing itu.
"Apa yang terjadi?" Justin bertanya dengan nada tenang, bergerak cepat untuk merobek kain pada jubah panjangnya lantas ia pakai untuk menekan luka robek pada bagian belakang kepala pria tersebut guna menghentikan atau minimal memperlambat aliran darah yang keluar dengan deras. Gadis bermata coklat mahoni itu terisak sebelum menjawab.
"Makhluk-makhluk aneh itu menyerang kami."
Kening Justin mengerut. Pria itu tidak menanyakan lebih lanjut, melainkan menyentuh kening si pria asing menggunakan telapak tangannya yang besar. Dalam hitungan detik, cahaya terlihat menyeruak dari sana, gemerlap nampak ingin keluar paksa melalui sela-sela jari Justin. Indah namun menyilaukan. Kemudian, hanya butuh waktu kurang dari semenit, genangan darah yang membuat hamparan salju-pun dilumuri warna merah kental berbau karat kini menguap bersamaan dengan terangnya cahaya yang memudar. Cahaya dengan abu emas tersebut menutup luka pada kepala pria itu perlahan hingga rapat, yang sontak membuat mata gadis di sisinya membulat penuh binar takjub yang tak sanggup ia sembunyikan.
"Astaga, apa yang kau lakukan?!" Gadis itu berdecak, nada bicaranya tinggi, namun semua orang tentu bisa mendengar kebahagiaan di sela-sela ucapannya.
"Ini sihir."
Gadis itu menyeringai lebar. "Terimakasih, terimakasih banyak!" Sejurus kemudian, gadis berambut coklat mahoni itu menghampiri rekan prianya, lantas membiarkan pria yang masih belum sadarkan diri itu berbaring pada pangkal pahanya. Ia kembali menoleh pada Justin, dengan senyum lebar yang membuat profil wajahnya terlihat semakin cantik, ia menggumamkan kata terimakasih berulang ketika Abigail berjalan mendekat, berdiri di sisi Justin.
"Aku tidak tau siapa kau, tapi kami berhutang nyawa padamu." Ujar gadis itu, masih dengan mata yang berkaca-kaca bekas menangis tadi, sekaligus air mata baru oleh rasa haru yang menyeruak di dada. "Aku Natalie. Dia Kakak ku, Taylor."
"Aku Justin, dan dia isteriku, Abigail."
Mungkin hanya perasaan Abigail saja, namun agaknya ia melihat raut wajah Natalie yang tadinya berseri berubah melemas ketika Justin menyebut kata isteriku. Namun Abigail tidak memperdulikannya, itu hanya perasaan. Gadis berparas cantik dengan warna mata dan rambut yang indah itu terlalu bagus untuk dijadikan antagonis.
Abigail menyunggingkan senyumnya yang tulus, menampilkan sisi ramahnya pada Natalie. "Apa kalian diserang Utron?"
Natalie nampak berfikir sebelum menjawab. Gadis itu mengedikkan bahu lemas. "Entahlah, dia besar dan membawa palu godam. Aku bersyukur karena Taylor bisa mengalahkannya. Yea, meski dia juga menerima luka cukup parah." Gadis itu menarik nafas, kemudian tersenyum lagi. "Itu bukan masalah karna ada kau, Justin. Duh, aku tidak bisa membayangkan nasib kami tanpa kehadiranmu."
Sebelah alis Abigail meninggi. Memandang Natalie penuh selidik. Bukankah gadis ini terlalu banyak memuji Justin?
"Ya. Tugas kami memang menolong masyarakat Thandeus." Justin menyahut dengan senyuman tipis. "Kalian darimana? Bagaimana bisa sampai di hutan berbahaya seperti ini?"
"Kami bukan orang sini." Gadis itu menatap mata Justin. "Kami datang dari Fiore, negri di sebelah Pars. Kami datang mencari Ayah kami,"
"Siapa Ayah kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AventuraAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97