[III] 9. Back

433 61 19
                                    

Howzer Castle

Air mata yang bening itu lagi-lagi menetes setelah cukup lama membuat bendungan yang memenuhi pelupuk mata. Ia terisak, dengan pilu dan terdengar begitu pedih. Hidungnya yang mancung memerah, begitu pula dengan pipi juga bagian matanya. Ini terlalu menyakitkan, mungkin mati akan lebih baik untuk mempersingkat penyiksaan yang diberikan. Jika sanggup, jika bisa, Abigail sangat ingin mati. Ia ingin sekali terjadi bencana alam seperti gempa atau gunung meletus atau meteor besar yang jatuh tepat di Kastil Howzer agar ia bisa mati secepatnya. Menyudahi rasa sakit yang membuatnya tidak bisa berhenti menangis.

Abigail benar-benar menyesal telah menolak ajakan Justin untuk pulang pagi tadi. Itu semua karena ia egois, dan keegoisan Abigail merupakan hal yang tidak pernah berubah sejak dulu. Begitu, banyak sekali masalah yang terjadi hanya karena keegoisan Abigail yang tidak bisa dikompromikan, membuat Justin selalu kalah bicara, dan pada akhirnya keputusan Abigail menuntun nasib mereka ke dalam lubang penuh kesalahan dan penyesalan.

Abigail Roswaal Evander mendangak ketika jari telunjuk Gowther menyentak dagunya tiba-tiba. Terpaksa, Abigail melihat mata merah menyala itu. Yang penuh nafsu, penuh selimut kegelapan.

"Apa manusia memang senang menangis sepertimu?" Gowther menyeringai, membentuk senyum lebar, yang jujur itu terlihat amat menyeramkan. "Padahal, menangis hanya membuatmu menjadi jelek. Aku-tidak-suka-itu." Gowther menekan kalimat terakhirnya. Menghempaskan dagu Abigail begitu saja, membuat kepala wanita itu melengos kasar. Abigail hanya diam, membiarkan air mata itu kembali mengalir. Ia menangis bukan hanya karena sakit yang membuatnya menderita sampai ingin mati, tapi membayangkan bagaimana Justin tanpa eksistensinya di kemudian hari-lah yang juga menjadi faktor mengapa Abigail terlihat begitu rapuh.

Abigail tidak ingin menemui Justin dengan jati diri lain, Abigail tidak ingin kembali ke Calester atau Evander sebagai vampire, ia tetap ingin menjadi manusia, hanya itu. Dia Abigail Evander, bukan Abigail Howzer. Membayangkan apa yang akan terjadi nanti hanya membuat Abigail semakin tersiksa saja.

Abigail menarik nafas, memberanikan diri untuk bicara. Wanita itu menatap pada mata Gowther dengan tegas, tulang pipinya menonjol menandakan bahwa ia benar-benar mengeraskan wajah. "Apa sebenarnya tujuanmu?" Tanya Abigail singkat. Dingin. Tidak lagi disertai tangis, tidak lagi ada isakan atau sesuatu yang membuat suaranya bergetar. Wanita itu terlihat berbeda, sosok lain dari Abigail yang bicara. Matanya yang hijau cerah menggelap, menyerupai warna lumut yang basah. Gowther mengernyit, hendak mengapit kedua pipi Abigail namun itu semua gagal ketika dengan lancangnya Abigail meludah. Ludah itu  jatuh tepat pada pipinya. Membuat Gowther membeku, kemudian menggeram marah bukan main sambil mengusap ludah menjijikan itu dengan kain jubahnya.

"Sialan kau, jalang!" Gowther menggerakan jari, mendorong angin, membuat tubuh Abigail bergetar dialiri aliran listrik. Wanita itu berteriak, menjerit, namun kali ini tidak menangis. Dan siksaan yang diberikan Gowther tidak berlangsung lama ketika tubuh Abigail diselubungi cahaya emas, membuat rantai yang mengikat tangannya langsung putus seketika. Gowther tersentak, memandangi wanita itu yang kini memandangnya dengan tatapan paling sadis yang ia miliki.

Sampai Gowther sadar satu hal, simbol Kerajaan Evander pada pergelangan tangan Abigail kini terang menyala-nyala. Sama seperti ketika Abigail ingin menolong Eleanor berbulan-bulan lalu. Abigail melancarkan serangan pertamanya dengan tinju yang luar biasa dahsyat, membuat tubuh Gowther terpental jauh dan menghantam dinding hingga retak. Itu menakjubkan, sebuah fenomena langka ketika ada makhluk lain yang berhasil menjatuhkan seorang vampire menggunakan tangan kosong. Namun tidak ada yang tau, siapa yang sedang melawan Gowther sekarang, dia bukan sosok Abigail yang biasa bertengkar dengan suaminya hanya karena ingin memenuhi kemauan Alena, Abigail yang disini berbeda. Abigail yang hanya muncul ketika ia sudah sampai pada batasnya.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang