[III] 17. Chair

782 63 47
                                    

anak kecil gabole baca. hus sana hus⚠

.



Gadis dengan mata sewarna hamparan rumput di musim panas itu mengayunkan kakinya mendekat pada sang suami yang sedang sibuk memerintah beberapa prajurit. Istana nampak ramai hari ini karena nanny serta prajurit lain sedang gencar mengerjakan tugas masing-masing serta tugas tambahan yang menyatakan bahwa mereka harus menemukan pria bertopeng yang menyakiti Abigail secepatnya. Siapapun yang menemukan pria itu, ia akan mendapat jabatan dari Justin. Tentu saja hal itu membuat prajurit-prajurit dengan pangkat rendah langsung bersemangat untuk buru-buru mencari si pria bertopeng agar mendapat jabatan tinggi yang setiap hari mereka impikan. Justin menghela nafas dan memijat batang hidungnya dengan gusar ketika salah satu prajurit yang barusan ia perintah kini berhambur bersama kawanan prajurit lain. Pria itu memutar tubuh dan sedikit tersentak mendapati eksistensi Abigail di hadapannya.

"Abigail, apa yang kau lakukan?" Tanya Justin sambil menangkup sebelah pipi gadis di hadapannya. Pipi Abigail telah kembali merona alami, berbeda dengan kemarin yang putih pucat pasi. "Kau masih harus beristirahat."

Apa yang Abigail harapkan dari sebuah kegiatan tak berguna bernamakan istirahat? Tidak ada. Toh, istirahat tidak membuatnya merasa lebih aman. Bayang-bayang sosok pria asing dengan topeng yang tersemat pada wajahnya tidak akan hilang dari dalam fikiran seorang Abigail hanya dengan istirahat. Ketika pria itu sudah ditangkap dan segera dihukum, barulah Abigail bisa bernafas bebas. Kali ini Abigail menggeleng dan menepis pelan sebelah tangan Justin yang menangkup pipinya dengan seutas senyum diselipkan pada bibir. "Aku akan bersamamu," gadis itu menatap kedua mata suaminya dengan lembut dan hangat. "Aku akan menemanimu mencari pria itu."

"Tidak." Justin menyergah secepat yang ia bisa. "Aku harus pergi saat ini juga ke Slendestein untuk menyelidiki tempat kejadian perkara. Kau benar-benar butuh istirahat, aku akan meminta Elise mendampingimu selama aku pergi. Dan Narsus akan menjaga di depan kamar."

"Narsus?" Sebelah alis Abigail terangkat. "Tidak biasanya kau menjadikan Narsus sebagai pengawal. Kau tahu, maksudku... dia lebih ahli di bidang siasat."

"Aku tidak bisa menyuruh Slaine atau Taylor lagi karena mereka sudah gagal menjagamu kemarin. Dan jangan kira aku tidak mencurigai keduanya."

"Maksudmu?" Kedua alis Abigail beradu. "Kau berfikir bahwa Slaine atau Taylor adalah penjahatnya? Jangan gila, Justin! Bahkan mereka juga korban."

"Tidak ada satu orangpun yang bisa ku percaya setelah melihatmu terluka. Sekarang, kembalilah ke kamar dan aku akan segera pulang."

Abigail menghela nafas asal. "Berjanjilah untuk cepat kembali."

"Aku akan kembali sebelum matahari tenggelam." Justin memberikan uluman senyum yang menawan. Pandangan matanya teduh seperti biasa penuh kasih sayang. Lantas, tangan besar itu membelai mesra puncak kepala Abigail sebelum bibirnya mendarat singkat di atas bibir isterinya. Mereka bersipandang dengan senyum masing-masing hingga Justin mengantar Abigail kembali ke dalam kamar.




***




Hampir petang. Selaput-selaput jingga mulai menggores langit bersih yang tak tersaput awan. Hembusan angin senja terasa menusuk tulang dingin tak terkira. Sedangkan Abigail baru saja bangun dari tidur siangnya yang lumayan panjang. Gadis bermata hijau serupa zamrud itu menggeliat dan merentangkan tangannya selama beberapa kejap untuk melemaskan otot yang menegang. Ia menyipit ketika mendapati sosok Elise yang duduk memunggunginya pada salah satu sofa. Sejenak Abigail sempatkan untuk melihat jam dinding, sudah nyaris malam. Jam setengah enam. Elise masih setia menjaganya di dalam kamar. Samar, senyum mengembang pada bibir tipis Abigail yang menyembulkan warna merah muda hangat.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang