Kunang-kunang.
Mata Justin terpejam rapat. Pria itu bersandar pada batang pohon pinus besar yang berada di halaman Calester. Menikmati udara sejuk pagi dengan nafas lepas juga telinganya yang dipenuhi suara merdu kicau-kicau burung. Sebelah tangan Justin bertengger pada sebelah lututnya yang ia tekuk. Sementara kaki yang satu ia biarkan terselonjor lurus sedangkan kepalanya setia bersandar pada badan pohon. Justin menarik nafas dalam, segar. Aroma pagi semacam ini memang sangat menarik untuk dihirup. Namun ada aroma lain, aroma yang tak kalah menarik yang sukses membuat kening Justin berkerut. Dan ketika ia membuka mata, wajah Abigail ada di hadapannya. Sedang tersenyum jahil dengan posisi membungkuk untuk dapat menjangkau wajah Justin yang rendah. Ah, aroma ini. Aroma paling sedap bagi Justin sepanjang eksistensinya hidup.
Lavender.
Saat Justin menoyol wajah Abigail pelan sambil tersenyum tipis, wanita itu justru terkekeh geli lantas mundur beberapa langkah dan mulai berpaling untuk menikmati suasana pagi. Abigail merentangkan tangan lebar, menarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Justin hanya menonton beberapa meter di belakangnya. "Hhh," Abigail mendesah lega. "Andai saja, hidup kita selalu indah seperti pagi."
Justin tersenyum simpul. Jadi, secara tidak langsung Abigail baru saja mengatakan bahwa selama ini hidupnya tidak indah, bukan? "Hidupmu selalu indah jika bersamaku, bukan?"
"Sangat indah," Abigail menjawab. Kemudian membalikkan tubuh untuk menghadap Justin yang rupanya belum bergeming sama sekali untuk terus memandangi dirinya. "Luar biasa indah jika masalah tidak datang bertubi-tubi."
"Kita selalu berhasil melewatinya, semuanya."
Abigail kembali tersenyum. "Ya. Itu karna kita kuat, benar? Lantas bagaimana jika kita sudah tua? Disaat kita sudah tidak sekuat sekarang, disaat aku bahkan sudah kesulitan berdiri, kesulitan bicara, atau kesulitan buang air? Orang-orang akan lebih mudah menyakiti kita."
"Tidak selama aku masih ada,"
"Kau akan tua."
"Kekuatan sihirku tidak akan menua. Dan--"
"Justin!"
Mendengar seseorang memekikan nama Justin dengan lantang dari kejauhan, Justin dan Abigail sama-sama menoleh menuju sumber suara. Dan disana, mereka berdua melihat Albert yang sedang menopang bobot tubuhnya pada tempurung lutut sambil mengatur nafas. Peluh-peluh nampak membanjiri wajah Albert. Dan seketika perasaan Abigail langsung was-was. Ia yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Ada apa?" berusaha pengertian, Justin bangkit, kemudian berjalan menuju Albert yang nampaknya sudah sangat kelelahan karna perjalanan menuju halaman belakang Calester memang cukup jauh. Bisa jadi Albert berlari kesini dari lantai empat istana? Atau mungkin lebih? Tidak ada yang tau. Yang jelas, Albert begitu kelelahan sampai otot tubuhnya terekspos oleh baju kaus tipis banjir keringat yang ia kenakan.
"Eleanor…"
***
Gadis dengan rambut pirang gelap itu memandang dengan dingin pada pantulan bayangan tubuhnya sendiri di hadapan cermin sembari menyisir menggunakan jari. Seolah tidak bernyawa, pandangan gadis itu hanya lurus kedepan. Kosong. Tidak cerah dan berkilau. Bagai tengah digrogoti aura penuh dendam yang membuat garis wajahnya mengeras. Memang, memang Grisel tidak memiliki dendam dalam segi apapun. Namun ia memiliki ambisi, keinginan, hasrat untuk mendapatkan Justin yang besarnya lebih ketimbang dari siapapun. Grisel menginginkan Justin ada untuknya, hidup bersama, membina rumah tangga di Tanah Utara seperti ketika mereka tengah menjalin hubungan beberapa tahun silam. Kala Grisel masih menjadi nanny, menjalin hubungan gelap dengan pangeran yang ia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Enemy
AdventureAku pernah bertanya pada seseorang. "Apa itu rindu?" Lalu tanpa menjawab, air mata jatuh mengalir deras pada pipinya. Aku tersentak. Rindu, seperti itukah? . Highest Rank #5 in Adventure [27 Des 16] Old Cover By : Bieberslaycx and Badgal97