Bab II Bagian xvi

571 67 14
                                    

Albert.



***





Masih dengan kepala yang penuh oleh banyak pertanyaan, Abigail melangkah pelan, matanya kosong ke depan dan tubuhnya lunglai. Kakinya yang telanjang tak beralas menapak pada karpet berbulu halus di sepanjang lorong, hingga se-sosok tubuh pria yang tegap membuat wanita itu tersentak menghentikan langkah. Kepalanya mendongak, mencari-cari siapa gerangan yang telah menghalangi jalannya sementara kedua tangan wanita itu masih kokoh mendekap Alena. Disana ada Justin, suaminya. Tokoh utama di dalam skenario pertanyaan-pertanyaan yang ada, orang yang sebenarnya tidak ingin Abigail temui di waktu dekat ini.

Justin tidak tersenyum, wajahnya pun tidak sehangat biasa. Abigail hendak mendesis, wanita itu baru saja ingin menunjukkan gerakan menghindar sensitif namun jauh dari dugaan, Justin melakukan itu lebih dulu. Justin mengambil satu langkah ke kanan sekali, lantas berjalan dengan mantap sampai lengannya menghantam ujung pundak Abigail dengan keras. Membuat wanita itu terbanting ke belakang satu langkah dengan mata membulat tak percaya. Alena, bayi itu masih sibuk merajut mimpi dalam dekapan ibunya. Abigail menggeleng cepat, membuang jauh-jauh rasa sesak yang hinggap kemudian mencoba ambil langkah baru seperti sedia kala. Namun wajah keras Justin menampar dirinya. Tatapan mata tanpa kasih sayang dan tabrakan itu, itu semua menyakitkan. Abigail merasa diasingi, dijauhi, tidak diberikan kasih seperti hari-hari sebelumnya.

Kenapa Justin bersikap seperti itu? Seolah-olah disini Abigail-lah yang salah. Padahal, Abigail tidak merasa melakukan kesalahan jenis apapun. Justru satu-satunya orang yang berhak marah disini adalah Abigail. Justin telah membunuh Julius dan Jasmine tanpa sepengetahuannya, padahal Justin tau hubungan Abigail se-akrab apa dengan kakak beradik itu. Abigail marah semalam, marah besar, ia membela Julius dan Jasmine mati-matian. Namun Justin ternyata balik marah, pria itu berkata bahwa Abigail membela Julius karena Abigail mencintai pria bermata kelabu itu, dan Abigail tidak mengelak. Bukan karna benar, namun ia sama sekali tidak berniat untuk melanjutkan perselisihan. Namun disinilah kesalahfahaman berawal.

Abigail menghela nafas. Berfikir positif. Justin akan kembali normal nanti, saat ini pasti Justin sedang sensitif. Ya, Abigail pun mengulang kalimat tersebut di dalam kepalanya dengan percaya diri. Berharap kemarahan Justin tidak berlangsung lama. Abigail hendak menaiki anak-anak tangga, masuk ke kamar lantas meletakkan Alena di atas ranjang ketika suara teriakan histeris orang-orang terdengar dari halaman belakang istana. Abigail berbalik refleks, dan tanpa sengaja ia menginjak ekor gaunnya sendiri hingga gadis itu kehilangan keseimbangan. Abigail akan jatuh, dan seseorang tiba-tiba muncul lantas merebut Alena dari gendongannya yang mengendur. Dia Heksa.

Dan sedetik kemudian, Abigail terjatuh. Tubuhnya mencumbu marmer lantai dengan telak. Menghasilkan suara yang membuat ngilu. Gadis itu meringis, Abigail merasa sakit pada tulang ekornya. Ini hanya jatuh biasa, benar-benar jatuh ringan yang tidak akan berdampak apa-apa. Namun entah mengapa, Abigail merasa khawatir, wanita itu merasa luar biasa takut. Perasaannya mendadak tidak enak, dan ia tau bahwa ini tidak ada hubungannya dengan sikap dingin Justin. Perasaan ini asing, benar-benar asing. Abigail merasakan kehilangan separuh dirinya, merasakan sesak yang membuat tenggorokannya tercekat, hingga setetes air mata jatuh mengalir di sebelah pipi secara tiba-tiba. Membuat baik Abigail maupun Heksa terkejut melihatnya.

"Apa itu sakit, Lady Abigail?" Heksa bertanya cemas. Wanita setengah baya itu menjulurkan tangan, membiarkan Abigail meraihnya untuk membantu berdiri. Abigail menggeleng lemah, lantas menatap Heksa dengan bibir gemetar, bersama air mata lain yang meluncur bersahut-sahutan tanpa dapat Abigail kontrol. Seakan ada kesalahan pada syaraf-syaraf matanya.

"Ada apa, Heksa? Apa yang terjadi padaku?" Abigail bertanya menuntut, pertanyaan aneh yang tentu saja tidak dapat Heksa jawab. Lalu Abigail menunduk. Menghapus tetesan-tetesan air mata itu dengan kasar, dan kembali mendongak dengan wajah yang terlihat lebih keras. "Ada keributan apa di bawah?"

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang