[III] 18. Pregnant

776 62 26
                                    

Masih sore, tapi Istana Calester nampak ramai bukan main. Lampu-lampu kecil yang saling bersambungan dengan warna terang mencolok hampir melilit seluruh tiang penyangga di setiap sudut Istana. Harum bunga-bungaan yang berjejer apik di pinggiran jalan begitu semerbak memanjakan indera penciuman. Matahari hampir tenggelam, semburat jingga semakin lihai menggores-gores angkasa dengan sukacita. Sore ini hangat, sangat hangat. Rasanya akan sangat nikmat jika sore ini dihabiskan sepenuhnya untuk meringkuk di kasur dan tidur sampai pagi. Dedaunan saling bergesekan tertiup angin senja, begitu tenang, begitu sejuk, seperti gerimis yang merembes pada bau tanah sebelum gelap bertahta. Musik bergenre slow romance terdengar mengaung dari tengah-tengah aula. Membuat orang yang mendengar akan menyempatkan diri sejenak untuk mengkhayati baik-baik tiap alunan nadanya. Pria-pria berseragam terlihat disibukkan oleh tumpukkan kardus serta tangga yang ditenteng kesana-kemari, mendekor Istana Calester sebagus mungkin untuk acara besok malam yang sudah dipersiapkan sedetil rupa.

Justin, sang pemilik acara, kini sedang menatap kertas ke-kuningan yang berada di atas meja. Bau cendana tercium dari tiap guratan kertas buram tersebut. Matanya mengeledah, mengawasi anak buahnya dengan teliti. Tangannya terampil mencelupkan ujung batang bulu burung pada sekotak tinta. Ia menepikan bulu itu terlebih dahulu agar tintanya tidak terlalu tebal sebelum memberi beberapa tanda ceklis pada objek tulisan yang berbeda-beda. Matanya beralih menatap ke depan, memperhatikan beberapa pesuruh yang sibuk saling membantu dan menyuruh, melakukan tugas masing-masing terburu-buru. Pria itu sedikit menyunggingkan senyum lega, dekorasinya akan segera selesai. Mungkin besok pagi sudah beres, tinggal dibersihkan saja sisa-sisa sampah bekas pendekoran.

"Cliff, Cliff." Justin memanggil salah seorang prajurit terkuat itu dua kali. Cliff yang sedang memerintah bawahan sontak menoleh dan mengangguk hormat penuh wibawa sebelum melangkah gagah mendekati sebuah meja dimana Justin duduk di sebrangnya.

"Yes, Your Highness." Cliff menghujam dadanya dengan kepalan tangan lantas membungkuk.

"Kita bisa pasang potret aku dan Abigail di halaman depan Istana? Potret yang besar. Aku rasa sudah pernah dicetak beberapa bulan lalu." Jemari Justin bermain menggerakkan bulu burung yang tak lagi basah oleh tinta.

Cliff mengangguk mantap. "Tentu saja." Ujarnya tegas, menyimpan kesopanan yang nampak jelas.

"Kalau begitu segera siapkan." Justin menghela nafas, meluruskan tangannya, merenggangkan syaraf dan otot yang terasa kebas.

"Baik, Your Excellency."

Cliff membungkuk sebelum berbalik. Belum genap langkah kakinya menginjak angka enam, Justin kembali memanggil nama prajurit itu pada langkah kelima. Cliff berbalik, menatap Justin penuh penghormatan. "Maksudku, bukan hanya fotoku dan Abigail..."

Kedua alis Cliff beradu. "Maksud anda?"

"Yang bertiga. Uhm, fotoku, Abigail, dan... Alena."

Hening dulu lima detik sebelum Cliff menarik sudut-sudut bibirnya menjadi satu senyuman manis. "Apapun yang anda kehendaki, My Lord." Kemudian Cliff berjalan menjauh. Justin menunduk, memijat batang hidungnya sendiri menggunakan dua jari. Pria itu mengatur nafas, yang entah bagaimana bisa menyesakkan dada hanya karena menyebut sebuah nama. Justin bangkit, hendak berbalik saat seorang gadis dengan balutan kaus panjang dan rok besar mengembang kini menatapnya dengan pedih, tapi terbesit sebuah senyuman disana. Cantik, namun penuh misteri.

"Abigail?"

"Kau tidak perlu memaksa, Justin. Aku tahu mengingat Alena hanya akan membuatmu merasa tersakiti," Perempuan itu melangkah pelan. "Lagipula, dia akan sedih jika melihatmu murung. Dia akan mengadu pada Tuhan, dia akan bertanya, Mengapa Ayah menangis? dan jika Tuhan menjelaskan jawabannya, dia akan menyalahi diri sendiri. Kau tidak ingin hal itu terjadi, kan? Dia harus tenang disana. Harus."

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang